Aman / Gilang48 / a.p

Makna hidup adalah mengenal Allah yang menciptakan, dengan mengenal Nya hati ini tiada henti-hentinya memuji dan tersenyum pada-Nya. Keindahan hidup adalah ketika kita melihat keindahan-Nya pada semua hal yang menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya. Dan jangan berputus asa dari rahmat Allah, teruslah mencoba dan mencoba, lebih baik pernah salah karena mencoba daripada tidak pernah salah karena sama sekali tidak pernah mencoba.

Jumat, 30 September 2011

Jadilah Seperti Kopi

Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.


Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah.


Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya. Lalu ia bertanya kepada anaknya, "Apa yang kau lihat, nak?" "Wortel, telur, dan kopi" jawab si anak.


Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.


Setelah itu, si anak bertanya, "Apa arti semua ini, Ayah?" Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda. Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak.Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut. "Kamu termasuk yang mana?," tanya ayahnya. "Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?"


Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.




Kita menjadi lelah
kita kehilangan harapan
kita menyerah

tidak ada lagi semangat berjuang
JANGAN SEPERTI WORTEL

Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?



Kita Benci Orang Lain
Kita Juga Benci Diri Sendiri

Hati Kita Membeku
Tidak Ada Lagi Kehangatan
Yang Tinggal Hanya Kepahitan

JANGAN SEPERTI TELUR!!!

Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik. 



Kamis, 29 September 2011

Yang Unik di Acara Haul ke-6 Syakhuna Zaini bin Abdul Ghani Sekumpul Martapura

Habib berjubah merah hadir pada acara Haul Guru Sekumpul yang ke-6 berbeda dengan yang lain, ketika semua jamaah hadir dengan mengendarai mobil, motor, beca, sepeda, taksi dan lain sebagainya. Beliau hadir dengan menunggang kuda. Bahkan ada yang bilang, kaya dinasti warior aja ya.heeeeeee......

Datu Abdul Hamid Abulung

Datu Abdul Hamid Abulung

seorang ulama yang pernah menggemparkan Kalimantan dengan paham wihdatul wujudnya, beliau memang tak banyak yang mengetahui karna beliau tidak ada meninggalkan kitab karangan seperti ulama ulama lainnya,keilmuan beliau cuma dapat kita ketahui secara lisan dari mulut kemulut atau dari pewaris para murid beliau,banyak pendapat yang berbeda tentang kisah beliau ada yang menyatakan bahwa ilmu beliau salah atau manyalah (bahasa banjar) tapi sebagian masyarakat banjar bahkan hampir seluruhnya menyatakan bahwa datu abulung ini adalah seorang wali Allah,terlepas dari segala kontropersi yang ada riwayat beliau sangat dicari oleh sebagian masyarakat banjar.
Dalam sejarah pemikiran keagamaan dikalimantan pada abad ke 18 setidaknya ada tiga tokoh ternama dikerajaan banjar selain Datu Suban dan para muridnya yang sakti mandraguna,pada masa itu para ulama banjar memang sangat terkenal dengan segala karamah dan kesaktiannya,diantara tiga orang tokoh ternama dan terkenal tersebut adalah
1.Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari atau Datu Kalampayan
2.Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari atau Datu Nafis
3.Syekh Abdul Hamid Abulung atau Datu abulung
Dan sosok Datu Abulung inilah yang penuh misteri hingga saat ini,pada masa itu pemerintahan kerajaan diperintah oleh sultan Tahlilullah, saat itu lah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syekh Abdul Hamid muda diberangkatkan oleh kerajaan banjar untuk menuntut ilmu dengan biaya kerajaan dengan harapan nantinya bisa membawa sinar terang bagi kerajaan banjar,mereka diberangkatkan keTanah Suci Makkah Al-Mukarramah,tercatat Datu Kalampayan belajar kepada beberapa orang guru (baca riwayat Datu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari),sedangkan Datu abulung juga belajar kepada beberapa orang guru yang sayangnya tidak tercatat karena tidak adanya karangan beliau yang biasanya merujuk kepada guru guru pengarang,sepulangnya dari menuntut ilmu ditanah suci Datu Syekh Abdul Hamid mulai mengajarkan ilmu yang didapatnya dari guru gurunya di Mekkah kepada masyarakat sekitarnya,diantara yang beliau ajarkan adalah ilmu Tasawuf,namun ilmu tasawuf yang beliau ajarkan kepada orang awam ini sangat berlainan dengan pelajaran tasawuf yang selama ini dikenal masyarakat,Datu Abulung mengajarkan bahwa;
Tiada yang maujud hanya Dia
Tiada maujud lain-Nya
Tiada aku melainkan Dia
Dia adalah aku
aku adalah Dia
Dalam pelajaran Syekh Abdul Hamid Abulung juga diajarkan bahwa Syariat yang diajarkan selama ini adalah kulit belum sampai kepada isi (hakikat),sedangkan pelajaran yang selama ini diyakini masyarakat umum yaitu Tiada yang berhak dan patut disembah selain Allah ,Allah adalah Khalik dan selainnya adalah makhluk,tiada sekutu bagi-Nya,ajaran Datu Abulung ini kurang lebih seperti ajaran Abu Yazid Al-Bustami,husein bin Mansyur Al-Hallaj yang kemudian memasuki Indonesia melalui Hamzah Fansuri dan Syamsuddin disumatera dan Syekh Siti Jenar di pulau Jawa.
Mendengar fatwa Datu Abulung yang berbeda dari kebanyakan paham masyarakat pada waktu itu,maka gemparlah masyarakat yang menerima ajaran tersebut,bahkan ajaran yang beliau sampaikan menjadi pembicaraan masyarakat umum yang mana akhirnya samapi ketelinga Sultan,sebelum Datu Abulung dipanggil sultan terlebih dahulu  minta pendapat syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (satu riwayat mengatakan tanpa diketahui Syekh Muhammad Arsyad) tentang ajaran Datu abulung tersebut.setelah menelaah beberapa kitab kemudian diambil kesimpulan bahwa ajaran yang dibawa Datu Abulung yang diajarkan kepada orang awam tersebut bisa menyesatkan masyarakat dan bisa merusak kehidupan beragama,adalah kewajiban Ulama dan Umara melindungi keagamaan rakyatnya dari unsur unsur yang membahayakan,jika tidak dapat dengan jalan damai maka lebih baik menyingkirkan nya , Menolak mafsadah (keburukan)lebih didahulukan dari pada mengambil manfaat.Melenyapkan seseorang untuk menyelamatkan orang banyak dibolehkan menurut hukum malah terkadang wajib (Zafri Zam Zam,Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari,1979,hal 13)berdasarkan keputusan tersebut maka dipanggillah Datu abulung,salah seorang prajurit kerajaan disuruh untuk mendatangi Datu Abulung setelah sampai ditempat Datu Abulung lalu dipanggillah beliau,satu riwayat menceritakan pemanggilan tersebut,prajurit itu berkata Hai Syekh Abdul Hamid ..anda dipanggil baginda Sultan ,kemudian dijawab oleh Datu Abulung “Syekh Abdul Hamid tidak ada yang ada hanya Allah…mendengar hal tersebut prajurit tersebut dan mengadukan kepada sultan,kemudian sultan menyuruh kembali dan memanggil “Allah “tersebut,setelah sampai ditempat Datu Abulung prajurit itu kembali berkata “hai Allah anda dipanggil baginda Sultan”yang kemudian dijawab kembali oleh Datu Abulung “Allah tidak ada yang ada hanya Nur Muhammad” mendengar hal itu prajurit kemali kekerajaan dan mengatakan hal tersebut kepada Baginda Sultan..kemudian sultan berkata panggil ketiganya Syekh Abdul Hamid,Allah dan Nur Muhammad ,barulah setelah prajurit tersebut memanggil seperti dipesankan sultan barulah Datu Abulung berkunjung keistana,ditengah perjalanan menuju istana dipasanglah perangkap yang apabila terpijak maka melesatlah sebilah tombak tajam yang akan menghujam ketubuh orang yang menginjaknya,saat itu terbukti kebenaran ajaran Syekh Abdul Hamid Abulung,ketika beliau menginjak perangkap tersebut tombak tajam itu memang melesat dengan cepatnya diudara dan berhenti tepat dibelakang Datu Abulung dan jatuh ketanah tanpa beliau mengetahuinya,setelah sampai diistana dan terjadi tanya jawab,sultan ingin bukti kebenaran ajaran Datu Abulung,kemudian beliau berucap’Ashadu alla ilahaillallah’ tiba tiba tubuh beliau menghilang,kemudian terdengar lagi suara “wa ashadu anna muhammadarrasulullah” timbullah kembali badan beliau,semua orang kagum melihat hal tersebut,tapi dengan menimbang untuk keselamatan orang awam yang lebih banyak maka dihukumlah Syekh Abdul Hamid Abulung dengan didimasukkan kedalam kerangkeng yang ukurannya hanya muat tubuh beliau dan hanya cukup untuk berdiri,dengan kurungan seperti itu akhirnya beliau ditenggelamkan disungai lok buntar,maka akhirnya tenggelamlah sampai kedasar sungai.
Tanpa diketahui oleh semua orang suatu keanehan terjadi apabila tiba waktu sholat fardhu maka kerangkeng tersebut akan timbul dari permukaan sungai,dan beliau kemudian keluar dari kerangkeng tersebut dan melakukan sholat,setelah selesai sholat maka secara perlahan kerangkeng tersebut tenggelam kembali kedasar sungai,pada suatu malam menjelang subuh sepuluh orang pencari ikan yang sampai pada sekitar tenggelamnya Syekh Abdul Hamid lamat lamat mereka mendengar suara azan,perlahan lahan mereka mendekati sumber suara azan tersebut dari kejauhan mereka melihat keganjilan dan keanehan Datu Abulung tersebut,sejak saat itu mereka mengangkat beliau menjadi guru mereka,dari beliau mereka belajar berbagai ilmu agama islam,karena jumlah mereka sepuluh maka dinamakan orang sepuluh atau sekarang orang menyebutnya Datu Sepuluh,setelah selesai belajar orang sepuluh ini menjadi pegawai kerajaan
Setelah direndam dalam air Datu Abulung tidak juga mati dan akhirnya diketahui kerajaan maka akhirnya Datu Abulung kembali dibawa kekerajaan,dihadapan sultan akhirnya Datu abulung megatakan bahwa beliau tidak bisa dibinasakan dengan alat apapun kecuali dengan senjata yang ada didinding rumah beliau dan menancapkannya didalam daerah lingkaran yang beliau tunjukkan dibelikat beliau,setelah sholat dua rakaat ,senjata tersebut ditancapkan dibelikat beliau sudah ditandai tersebut maka memancarlah darah segar dari tempat itu dan anehnya darah tersebut membentuk kalimat  ”LAA ILAAHA ILLALLAH MUHAMMADUR RASULULLAH”‘ innaa Lillaahi wa Innaa ILaihi Rajiuun.
setelah sekian lama kubur beliau akhirnya ditemukan oleh masyarakat atas petunjuk dari Alm.Tuan Guru H.Muhammad nor Tangkisung yang juga diyakini adalah seorang Kekasih Allah letaknya sebelah hilir dari Kampung Dalam Pagar,dan sekarang dipelihara makamnya oleh warga setempat,selain itu keanehan makam yang terletak dipinggir sungai itu berapa kali tergeros air sungai dan turun kebawah tp setelah itu makam itu naik dengan sendirinya dan tanah dibawahnya juga mengikuti makam tersebut….walllahu a’lam….

SYEIKH MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI

SYEIKH MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI


datu nafis
Muhammad Nafis bin Idris bin Husein, demikianlah nama lengkapnya, ia lahir sekitar tahun 1148 H.11735 M., di kota Martapura, sekarang ibukota Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, dari keluarga bangsawan atau kesultanan Banjar yang garis silsilah dan keturunannya bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M.) Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam, yang dahulu bergelar Pangeran Samudera.
Silsilah lengkapnya adalah: Muhammad Nafis bin Idris bin Husein bin Ratu Kasuma Yoeda bin Pangeran Kesuma Negara bin Pangeran Dipati bin Sultan Tahlillah bin Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah bin Sultan Musta’in Billah bin Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah.
Muhammad Nafis hidup pada periode yang sama dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Dan diperkirakan wafat sekitar tahun 1812 M. dan dimakamkan di Mahar Kuning, Desa Binturu, sekarang menjadi bagian desa dari Kecamatan Kelua, Kabupaten Tabalong. Dan sekarang makam tersebut menjadi salah satu objek wisata relijius di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
Tidak ada catatan tahun yang pasti kapan ia pergi berangkat menuntut itmu ke tanah suci Makkah. Diperkirakan ia pergi menimba ilmu pengetahuan ke tanah suci Makkah sejak usia dini dan sangat muda, sesudah mendapat pendidikan dasar-dasar agama Islam di kota kelahirannya, Martapura. Di kemudian had, didapati ia belajar dan menuntut ilmu agama Islam di kota Makkah, sebagaimana ia tuliskan dalam catatan pendahuluan pada karya tulisnya “ad-Durrun Nafis” (….. dia yang menulis risalah ini… yaitu, Muhammad Nafis bin Idris bin al-Husein, yang dilahirkan di Banjar dan hidup di Makkah).
Juga tidak terdapat informasi dan catatan tentang apakah ia di Makkah dan Madinah belajar bersama Abdussamad al-Falimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya, tetapi besar kemungkinan masa belajar Muhammad Nafis di Haramain bersamaan dengan masa belajar Abdussamad al-Falimbani,Muhammad Arsyad al-Banjari dan rekan-rekan mereka yang lainnya.
Kesimpulannya, dengan melihat daftar nama-nama guru Muhammad Nafis al-Banjari besar kemungkinan mereka belajar bersama pada satu masa atau masa yang Iain. Sebagaimana kebiasaan para ulama Jawi (Indonesia/Asia Tenggara) abad ke 17 dan ke 18, ia belajar dan menuntut ilmu pengetahuan keislaman kepada para ulama yang terkenal di dunia Islam pada masa itu, baik yang menetap maupun yang sewaktu-waktu berziarah dan mengajar di Haramain, Makkah dan Madinah, dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam, terutama tafsir, hadits, fiqih, tauhid dan tasauf.
Di antara guru-gurunya yang tercatat dalam bidang ilmu tasauf di Haramain adalah:
  1. Syeikh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi al-Azhari.
  2. Syeikh Shiddiq bin Umar Khan.
  3. Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Samani al-Madani.
  4. Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Aziz al-Maghribi.
  5. Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Jawhari.
  6. Syeikh Yusuf Abu Dzarrah al-Mishri.
  7. Syeikh Abdullah bin Syeikh Ibrahim al-Mirghani
  8. Syeikh Abu Fauzi Ibrahim bin Muhammad ar-Ra’is az-Zamzami al-Makki.
Karena kegigihannya dalam mempelajari ilmu tasauf Muhammad Nafis akhirnya berhasil mencapai gelar “Syeikh al-Mursyid”, yaitu seorang yang memahami, mengerti, mengamalkan serta mempunyai ilmu yang cukup tentang tasauf, gelar yang menunjukkan bahwa ia mampu dan diperkenankan serta diberi izin untuk mengajar tasauf dan tarekatnya kepada orang lain.
Karena seringnya melakukan dakwah ke pedalaman ia hanya sempat mengarang sedikit kitab. Yang sampai sekarang yang terlacak hanya dua buah kitab saja yaitu:
  1. Kanzus Sa’adah. Yaitu kitab yang berisi tentang istilah-istilah ilmu tasauf. Kitab ini belum pernah dicetak masih berupa manuskrip.
  2. Ad-Durrun Nafis. Yaitu kitab yang berisi tentang pengesaan perbuatan, nama, sifat dan zat Tuhan.
Kitab ad-Durrun Nafis yang pada mulanya dikarang hanya untuk memenuhi permintaan kawan-kawan, namun pada akhirnya banyak diminati dan tersebar luas ke pelosok Nusantara bahkan sampai negara-negara di Timur Tengah dan Asia Tenggara.
Menurut seorang yang kasyaf mengatakan bahwa kitab ad-Durrun Nafis berisi bagian dari ilmu para wali Allah, barangsiapa mempelajarinya, maka ia akan dicatat oleh para wali sebagai bagian dari mereka. Ini merupakan salah satu karamah dari penyusunnya yaitu Syeikh Muhammad Nafis.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari, seperti kebanyakan ulama Melayu-Indonesia lainnya, mengikut Madzhab Syafi’i pada bidang fikih dan Asy’ariyyah pada ilmu tauhid ia juga menggabungkan diri dengan Tarekat Qadiriyyah, Syattariyyah, Samaniyyah, Naqsyabandyyah dan Khalwatiyyah.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari seperti ulama-ulama sufi lainnya, ia juga mendapat tantangan dari orang-orang yang tidak sependapat dengan ajaran tasaufnya. Namun tidak sehebat ta ntangan terhadap Syeikh Hamzah al-Fansuri dan Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani. Dalam perkembangan mutakhir golongan sufi dunia Melayu cukup sering dibicarakan.
Di satu pihak kitab itu dilarang atau diharamkan menggunakannya, di pihak lain ternyata lebih banyak surau ataupun masjid serta di rumah-rumah orang yang mengajarkannya. Bahkan KH. Haderanie HN., seorang ulama di Surabaya berusaha menyalin ke dalam huruf latin kitab tersebut, yang diberi kata sambutan oleh seorang ulama dan tokoh atau ahli politik Islam Indonesia, KH. Dr. Idham Chalid. ad-Durr an-Nafis yang disalin ke dalam huruf latin itu diberi judul Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah (ad-Durrun Nafis). Juga kitab ad-Durrun Nafis telah disalin secara lengkap ke dalam huruf latin dan diberi catatan kaki serta diberi indeks untuk kemudahan menelaahnya oleh Tim Sahabat Kandangan. Kitab ad-Durrun Nafis latin tersebut menjadi bagian dari buku Manakib Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari.

Kyai Falak , Wali agung kota Bogor

Desa Pagentongan terletak disebelah Barat Kota Bogor, kurang lebih sekitar 5 Km dari pusat pemerintahan (Balaikota Bogor). Tepatnya di Kelurahan Loji. Kecamatan Bogor Barat. Kota Bogor. Desa Pagentongan menjadi terkenal karena disana pernah tinggal seorang ulama besar yang bergelar K.H. Falak pendiri masjid dan pondok pesantren Al Falak. Bahkan, Masjid Al Falak termasuk salah satu Masjid tertua di Kota Bogor.

Sepanjang perjalanan menuju ke lokasi. akan kita temukan panorama alam pedesaan yang bersih nyaman dan ramah, jarang sekali terlihat mobil yang melintas disana, sehingga kesejukan pun dengan cepat dapat menjalar tubuh kita. apalagi pada saat memasuki area pesantren Al Falak, selintas dapat kita tangkap, betapa Pagentongan menjadi tempat yang nyaman untuk berkumpul dan menjadi sentra ukwah Islamiyah.

Berbeda dengan masjid-masjid tua lainnya di Kota Bogor. Masjid Al Falak, berdiri ditengah perkampungan, diapit oleh rumah-rumah penduduk, sedangkan disebelah kiri masjid tersebut terdapat tanah pemakaman warga. Masjid Al Falak didirikan oleh seorang ulama besar. KH. Tubagus Muhammad Bin Tubagus Abas, yang belakangan namanya lebih dikenal dengan gelar KH Falak.

Proses pembangunan masjid dimulai awal abad 20, atau tepatnya tahun 1901 masehi. Walaupun beberapa kali masjid itu sudah direnovasi hingga ke bentuknya yang sekarang. Namun menara dan ornament-ornamennya masih tetap mamunculkan khas Masjid Agung Banten.

KH Falak datang ke Pagentongan sekitar tahun 1878. konon pada masa itu masyarakat Pagentongan masih kental diwarnai kultur kehinduan, bahkan sebagian besar dari mereka masih akrab dengan praktek perdukunan, seperti teluh, santet, pelet dan segala bentuk ilmu guna-guna lainnya, keadaan seperti itu masih terus berlangsung hingga 20 tahun menjelang wafatnya K.H. Falak.

Berkat kegigihan, ketulusan, dan kesabaran syiar Islam yang dilakukan oleh KH. Falak, dengan melalui da’wah, tabligh dan pendekatan kepada masyarakat setempat, perlahan-lahan pengaruh animisme itu mulai terkikis dan ditinggalkan oleh masyarakat disana, hingga akhirnya masyarakat Pagentongan menjadi masyarakat Islami yang berpedoman kepada Al Qur’an dan Hadist.

Semasa hidupnya KH. Falak dikenal sebagai seorang ulama kharismatik yang memilki kedalaman ilmu dan pengaruh yang sangat luas, beliau menjadi salah satu pusat kunjungan berbagai kalangan masyarakat, termasuk ulama dan umaro di tanah air .

Pengabdian dan jerih payah KH. Falak sebagai seorang pendidik, telah banyak melahirkan santri-santrinya menjadi ulama yang kemudian meneruskan jejaknya dengan mendirikan majlis-majlis ta’lim, pondok-pondok pesantren, madrasah-madrasah dan berbagai lembaga ilmu pengetahuan Islam lainnya yang tersebar khususnya di Jawa Barat, umumnya di Indonesia bahkan sampai ke mancanegara.

Tempat dan kelahiran KH. Falak.

KH. Falak lahir di Banten pada tahun 1842 masehi, tepatnya di pondok Pesantren Sabi. Desa Purbasari Kabupaten Pandeglang Banten.
Nama asli beliau sendiri adalah KH.Tubagus Muhammad Falak Abbas .

Sejak kecil KH. Falak di asuh dan di bimbing oleh Ayahandanya K.H TB Abas dan Ibundanya Ratu Kuraisin, Nama KH. Falak sejak kecil sebenarnya Tubagus Muhammad. Sedangkan gelar falak itu sendiri diberikan oleh gurunya Syekh Sayyid Afandi di Turqi, pada saat beliau mempelajari ilmu khasaf dan falak (perbintangan-red) di Mekah.

Ayahandanya KH. Tubagus Abas dikenal sebagai seorang ulama besar di Banten. Ia sebagai pendiri dan pemimpin pondok pesantren Sabi, hampir separuh usianya dihabiskan untuk mendidik santri-santrinya. dari beliaulah pertama kali KH. Falak mendapat pendidikan dalam bidang baca tulis Al Qur’an, Sufi dan terutama pemantapan Aqidah Islam, bahkan karena cintanya kepada ilmu, di usianya yang masih muda, K.H Falak sempat mengembara selama 15 tahun untuk menggali dan menuntut ilmu ke beberapa ulama besar yang ada di daerah Banten dan Cirebon.

Melalui garis keturunan dari Ayahnya. KH Falak berasal dari keturunan keluarga besar kesultanan di Banten, bahkan merujuk kepada silsilah keluarganya, KH. Falak termasuk keturunan salah seorang mubalighin utama (Walisongo) yang memiliki putra bernama Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Djati.

Pada tahun 1857, K.H. Falak diberangkatkan oleh Ayahnya ke Mekah. Selama di Mekah beliau berguru kepada Syeh Nawawi Al Bantani, Syeh Abdul Karim, Syekh Sayyid Afandi Turqi dan beberapa ulama besar lainnya yang ada di Jazirah Arab. Dari Syekh Nawawi Al Bantani, beliau mendapatkan kedalaman ilmu Hadist, Sedangkan dari Syekh Sayyid Afandi Turqi, mendapatkan ilmu khasaf dan falak.

Bahkan berkat kepintarannya dalam ilmu khasaf dan falak, oleh Syekh Sayyid Afandi Turqi, beliau diberikan gelar falak, sampai saat ini gelar itu masih melekat hingga wafatnya.

Selama di Mekah KH. Falak tinggal bersama Syekh Abdul Karim, dari Syeh Abdul Karim hingga akhirnya mendapatkan kedalaman ilmu thorekat dan tasawuf, bahkan oleh Syekh Abdul Karim yang dikenal sebagai seorang Wali Agung dan ulama besar dari tanah Banten yang menetap di Mekah itu. KH. Falak dibai’at hingga mendapat kepercayaan sebagai mursyid (guru besar) Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.

Pada tahun 1878. KH Falak kembali ketanah air. Selama beberapa pekan K.H. Falak tinggal di tempat kelahirannya Pandeglang Banten Dan mendapat kepercayaan untuk memimpin pesantren Sabi yang ditinggalkan oleh ayahnya.

Tetapi seperti pada umumnya perjalanan seorang mubalighin, aktivitas da’wah dan tablignya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam tidak akan terhenti sampai disana demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh KH Falak, sebagai wujud untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmunya, sejak tahun itu juga beliau mulai melancarkan aktivitas tablig dan da’wah secara estafet. Dimulai dari daerah Pandeglang, Banten hingga sampai ke Pagentongan Bogor dan bermukim disana hingga wafatnya.

Selanjutnya Abah Falak menikah dengan seorang putri Pagentongan yang bernama Hajajh Siti Fatimah dan mempunyai seorang putra tunggal yang bernama KH. Tb.Muhammad Thohir Falak ( dikenal sebagai Bapak Aceng ) .

Karomah KH Falak

KH. Tubagus Muhammad Falak bin Tubagus Abbas adalah seorang ulama kharismatik yang sampai saat ini masih diziarahi oleh banyak orang, ini menunjukan suatu bukti bahwa semasa hidupnya beliau memiliki kedalaman ilmu dan pengaruh yang sangat luas diberbagai khayalak.

Pernyataan seperti itu didukung oleh pengakuan beberapa ulama besar termasuk para Habib di nusantara, mereka memberikan pengakuan bahwa KH Falak merupakan seorang waliyullah, hal itu pernah disampaikan oleh Habib Umar Bin Muhammad bin Hud Al-Attas ( cipayung ), Habib Soleh Tanggul Jawa Timur dan Habib Ali Al Habsyi Kwitang. Jakarta.

cerita - cerita khas

Salah satu karomah KH Falak adalah ketika tiga hari menjelang wafatnya beliau sempat dikunjungi oleh para gurunya yang telah tiada, seperti Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Said Abdul Turqi, Syekh Abdul Karim bahkan juga Syekh Abdul Qodir Jailani. Selain itu diterangkan pula, bahwa KH, Falak sering melakukan perjalanan singkat antara Pagentongan–Banten. Selama di Banten beliau menjadi seorang ulama besar yang menjadi pusat kunjungan berbagai kalangan masyarakat Banten. Artinya, disana dapat dilihat tidak semata-mata seorang individu yang memiliki pengaruh luas. Tapi, jelas ada kontek kekaromahan yang dimilikinya dan diyakini khalayak masyarakat yang tidak mungkin dapat dituangkan secara keseluruhan didalam tulisan yang serba singkat ini.

menurut KH . Zein Falak yang pernah menuturkan
pengalamannya selama menjadi pengawal pribadi KH
Falak. "Subhanallah -Tabarakallah. Abah Falak itu
seorang yang Alim , Wali , 'allamah , perawakannya kecil,
kulitnya putih berseri. Beliau sangat ramah dan selalu
tersenyum kepada yang menyapanya¡¨ tutur KH Zein

Lebih jauh, lelaki keturunan kelima dari KH Falak yang lahir tahun
1940 itu menuturkan ¨Abah Falak tinggi badannya sekitar 150 cm, Abah selalu memakai udeng (sorban yang dililitkan dikepala-red) , wajahnya selalu berseri,
tutur katanya lembut namun tegas dan jelas. Bahkan dikagumi oleh semua orang ,baik dengan para ulama, habaib dan sahabat-sahabatnya yang datang
bersilaturahmi kepadanya,
Abah Falak dalam berbicara selalu menggunakan bahasa Arab yang fasih, sedangkan kalau kepada santri-santri dan tamunya selalu menggunakan bahasa sunda atau bahasa Indonesia.

Sebenarnya, kata KH. Zein Falak , " Abah Falak bukan seorang ahli Falak, Tapi, ahli zikir dan tarekat, setiap harinya beliau tidak pernah lepas dari tasbih,
bahkan Abah Falak selalu mengingatkan supaya mulut kita jangan sampai kering, tetapi harus basah dengan berzikir, membaca istigfar dan Solawat Nabi

Abah Falak, termasuk ulama besar yang selalu menjaga kebersihan dan kesehatan tubuhnya Karena itu sudah menjadi kebiasaan setiap pagi memakan dua telur ayam kampung, kemudian jalan-jalan sambil melihat-lihat
pondok pesantren, madrasah, majlis ta'lim dan
masjid ¨ tutur KH Zein

semasa hidupnya KH . Falak dikenal sebagai seorang yang dermawan, banyak
orang yang datang kepadanya untuk meminta tolong dan beliau selalu memberikan pertolongan kepada orang-orang yang meminta pertolongan.

Yang tidak kalah menarik menurut penuturan KH. Zein, bahwa apabila
kedatangan tamu yang niatnya tidak bagus, maka beliau seperti orang tuli, Pernah suatu saat Abah Falak kedatangan tamu yang minta nomor buntut. Pada saat orang itu mengutarakan maksudnya, Abah Falak bertanya
berulang kali seolah-olah sama sekali tidak mendengar apa yang diutarakan orang itu, bahkan secara tiba-tiba , Abah Falak menyuruh orang itu pulang ¨ ujar KH Zein.


Wafat Diusia 130 Tahun

KH Falak wafat tahun 1972 diusianya yang ke-130, dan dimakamkan di areal komplek pondok Pesantren Al Falak yang tidak jauh dari masjid Al Falak. Beliau meninggal karena sakit ringan. hampir seluruh ulama dan Habaib termasuk masyarakat ditanah air banyak yang ikut mensholatkan dan mengantarkan ketempat peristirahatannya.

Sekarang Pondok Pesantren Al-Falak dikelola oleh buyutnya (generasi IV) Abah Falak yang tinggal di Pagentongan, dan Pondok Pesantren Al-Falak tetap konsisten untuk membantu pemerintah dalam membangun sumber daya manusia yang sangat islami, insya Allah.

4 Nasihat Rasulullah SAW kepada Siti Ai’syah RA

Ada 4 (empat) buah Nasihat Rasulullah SAW kepada Istrinya tercinta Siti Ai’syah Rodliyallohu Anha… :
  1. Ya Ai’syah…. Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENGHATAMKAN AL-QUR’AN….
  2. Ya Ai’syah…. Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN SYAFAAT DARI PARA RASUL dan NABI….
  3. Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN RIDHO’ dari SELURUH KAUM MUSLIMIN….
  4. Dan Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN PAHALA UMROH DAN HAJJI …..
Siti Ai’syah lalu bertanya Kepada Rasulullah SAW,
Ya Rasulullah… Bagaimana caranya agar saya bisa mendapatkan empat fadhilah tersebut dalam satu malam ?
bisa MENGHATAMKAN AL-QUR’AN- bisa MENDAPATKAN SYAFAAT DARI PARA RASUL dan NABI-
bisa MENDAPATKAN RIDHO’ dari SELURUH KAUM MUSLIMIN- dan bisa MENDAPATKAN PAHALA UMROH DAN HAJJI ?
Rasulullah SAW tersenyum lalu menjawab….
Ya Ai’syah…. yang kumaksud dengan : Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENGHATAMKAN AL-QUR’AN adalah : Janganlah Engkau tidur di malam hari SEBELUM MEMBACA SURAH AL-IKHLAS TIGA KALI….
Karena bila engkau membaca Surah Al-Ikhlas 3X sebelum tidur, itu sama halnya engkau membaca seluruh Al-Qur’an.
Ya Ai’syah…. yang kumaksud dengan : Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN SYAFAAT DARI PARA RASUL dan NABI adalah ; Janganlah Engkau tidur di malam hari SEBELUM MEMBACA SHALAWAT bukan hanya kepadaku tapi juga kepada para Nabi dan Rasul… “Allohumma sholli ‘ala Saydina Muhammadin… wa’ala Sya-iril Ambiyaa wal Mursaliin, wa ‘ala alihim wa shohbihim ajma’in” (artinya Ya Allah Sholawat dan Salam kepada Nabi Muhammad, dan kepada seluruh para Nabi dan Rasul, serta kepada keluarga-keluarga mereka dan sahabat-sahabat mereka).
Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN RIDHO’ dari SELURUH KAUM MUSLIMIN, adalah dengan cara memohon AMPUN kepada ALLAH atas segala dosa-dosamu dan dosa-dosa seluruh Kaum Muslimin. yaitu dengan senantiasa membaca ” Robbighfirli…wali walidayya…waliman haqqun alayya.. wali jami’il muslimin wal muslimat… wal mu’miniin wal mu’minat… al ahya’i wal amwaat…” (artinya Ya Tuhan kami ampuni aku, ampuni kedua orangtuaku dan siapa2 yang memiliki nasab keturunannya, dan kepada seluruh muslimin dan muslimat, dan mu’minin dan mu’minat… baik yang masih hidup maupun yang sudah mati)
Yang ke empat, Janganlah Engkau tidur di malam hari sebelum engkau MENDAPATKAN PAHALA UMROH DAN HAJJI, yaitu dengan senantiasa membaca Tashbih, Tahmid, Tahlil, dan Takbir… ” Subhanallah.. wal hamdulillah, Wala ilaha illallah Huwallohu Akbar” (artinya Maha Suci Allah… Segala Puji bagi Allah, Tiada sesembahan kecuali Allah, Allah yang Maha Besar).

AL-GHAZALI

Kata-kata yang digunakan untuk menunjuk”keadaan” Sufisme hanyalah perkiraan-perkiraan.
(Kalabadzi)
Selama orang-orang Normandia melakukan konsolidasi kekuasaannya di Inggris dan Sicilia, dan selama aliran pengetahuan Arab ke Barat terus meningkat melalui Arab Spanyol dan Italia, saat ini kekuasaan Islam telah berlangsung tak kurang dari lima ratus tahun lamanya. Puncak keilmuan yang tak seimbang –yang fungsi-fungsinya telah dilarang oleh hukum agama, tetapi dalam kenyataan memiliki kekuatan yang besar– berupaya untuk mencoba mendamaikan metode filsafat Yunani Kuno (Greek) dengan al-Qur’an dan Sunnah-sunnah Nabi saw. serta menerima Skolastisisme sebagai metode untuk menafsir agama. Para ahli dialektika belum mampu menemukan diri mereka untuk mendemonstrasikan kebenaran dan kepercayaan-kepercayaan mereka dengan makna-makna intelektual. Masyarakat lewat sirkulasi pengetahuan telah tumbuh melampaui dialektika formal. Kondisi ekonomi yang sangat baik telah menghasilkan intelektualitas yang luas, melampaui kebutuhan terhadap jaminan-jaminan dogmatik. Atau melampaui pernyataan bahwa, “negara harus benar”. Islam telah menjadi negara. Islam tampak seperti akan jatuh berkeping-keping.
Seorang pemuda Persia, negeri permadani, yang dikenal dengan Muhammad al-Ghazali (seorang pemintal benang), hidup yatim sejak masih kecil dan dididik sebagai Sufi di sebuah universitas di Asia Tengah yang ada saat itu. Ia ditakdirkan untuk memperoleh dua hal yang luar biasa, sebagai akibat dari dimana dua agama, Islam dan Kristen menghasilkan beberapa karakteristik yang hingga kini tetap dimiliki.

Islam ortodoks telah menentang Sufisme yang dianggap mencoba mengabaikan hukum dan menggantikannya dengan “pengalaman personal” mengenai makna agama yang sebenarnya. Hal itu dianggapnya sebuah idea sangat bid’ah. Tetapi Muhammad al-Ghazali benar-benar telah menjadi seorang yang mampu mendamaikan Islam dengan intelektualisme dan memperbaiki kepercayaan-kepercayaan pokok Asy’ariyah serta membentuk diktum-diktumnya sebagai kepercayaan Islam universal, sebagaimana dikatakan oleh Profesor Hitti. Betapa suksesnya pembuat bid’ah ini dalam proses menjadi penemu kebenaran bagi ‘gereja’ Muslim, hingga kebanyakan masyarakat ortodoks memberinya titel akademik tertinggi yang terkenal dengan “Hujjatul Islam” (the Authority of Islam, Pembela Islam).
Setelah lima puluh tahun lamanya tulisan mereka, buku-bukunya menyebarkan pengaruh yang sangat besar terhadap Skolastisisme Yahudi dan Kristen. Ia tidak hanya mendahului mode yang luar biasa dari Holy War dan Pilgrim’s Progress-nya John Bunyan, tetapi juga mempengaruhi Ramon Marti, Thomas Aquinas dan Pascal, sebaik sejumlah pemikir-pemikir modern.
Buku-buku seperti Tahafutul-Falasifah (Kerancuan Para Filosuf, Kimiyya’us-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) dan Misykatul-Anwar (Relung Cahaya) terus dipelajari secara seksama dan mengandung ajaran-ajarannya yang besar.
Pada Abad Pertengahan di Eropa ia dikenal dengan Algazel. Abu Hamid Muhammad al-Ghazali telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih banyak dari catatan-catatan seorang penulis. Para ahli teologi Kristen dengan senang hati menyerahkan pertanyaan-pertanyaan itu kepada pemikir-pemikir Muslim, dan al-Ghazali memberikan jawaban-jawabannya kembali dan mencapai apa yang oleh Profesor Hitti disebut jawaban mystico-psychological Sufi. Posisi Sufisme yang diterima dan dikenal oleh banyak Muslim yang dianggap sebagai makna inti Islam adalah hasil langsung dari karya al-Ghazali.
Idea-idea yang disampaikan oleh al-Ghazali dan telah mempengaruhi St. Thomas Aquinas the Dominican dan St. Francis of Assisi, masing-masing dengan caranya sendiri, telah menyebabkan kebingungan di pikiran para pemikir Mistisisme Barat yang terus menahan sakit hingga kini. Bagi Sufi, aliran al-Ghazali dalam dua tekanan yang berbeda terlihat dengan jelas di dalam dua aliran Intelektual Dominican dan aliran Intuitif Franciscan. Dua pengaruh yang berbeda akibat gejala adaptasi dan spesialisasi dalam satu metode Sufi itu begitu definitif sedemikian jelasnya, bahkan sekalipun salah satunya tidak mengetahui sumber-sumber inspirasi yang dipakai oleh dua guru Kristen di atas, itu akan baik sekali untuk diidentifikasi aliran Sufinya.
Evelyn Underhill (Mysticism) telah mengatur untuk mengungkapkan kesatuan fondasi aliran-aliran yang tampak berbeda pada dua madzhab Kristen itu. Tampaknya tanpa mendengarkan pengaruh-pengaruh Sufi terhadap Mistisisme Kristen, ia bisa mencatat bahwa dua aliran Dominican dan Franciscan secara mendasar berakar dalam perenungan dan “akibat kemampuan menafsir dunia Abad Pertengahan yang merupakan tradisi spiritual besar masa lalu.”
Al-Ghazali, dengan menggunakan konsep Sufi bahwa semua religiusitas dan aktivitas psikologis secara esensial adalah alam yang sama, dengan menampilkan kembali tradisi yang berlaku yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh individu-individu tertentu, telah mencapai posisi dimana ia mampu menyajikan dua hal: dunia mistik dan teologis secara sempurna dalam konteksnya. Dalam pekerjaan itu, ia mampu mendemonstrasikan bagian dalam dari realitas agama dan filosofi (inner reality of religion and philosophy) dalam cara sedemikian sebagai seruan bagi para penganut setiap keyakinan (keimanan). Konsekuensinya, walaupun pekerjaannya telah dihormati oleh para pengikut dari berbagai tradisi yang berbeda, ada kecenderungan yang salah untuk menganggap bahwa ia telah mengusahakan pemaduan agama. Seorang ahli teologi Kristen, Dr. August Tholuck, termasuk yang beranggapan demikian, ketika ia menyetujui bahwa tulisan-tulisan al-Ghazali sesuai dengan agama Kristen. Pertanyaan-pertanyaan Tholuck tentang materi itu patut dicatat dengan seksama, ketika memberikan sebuah contoh yang luar biasa tentang bentuk pemikir “gajah di tempat gelap” yang tak mempercayai sebuah sumber tunggal untuk semua pengajaran metafisika yang jujur, dan harus mencoba memberikan penjelasan tentang bahan-bahan beberapa penampilan baru dari seorang guru:
“Semua itu baik, penting dan mulia, dimana jiwa besarnya telah sampai. Ia telah menganugerahkan Muhammadisme dan mempercantik doktrin-doktrin al-Qur’an dengan begitu banyak kesetiaan dan tahu bahwa dalam bentuk ajaran-ajaran yang ia berikan, tampaknya ajaran-ajaran itu, menurut pendapat saya, berharga bagi persetujuan ummat Kristen. Apa pun luar biasanya isi filsafat Aristoteles atau isi mistisisme Sufi, ia sangat hati-hati menyesuaikannya dengan teologi Muhammad. Dari tiap madzhab ia mencari makna-makna pancaran sinar dan kemurnian agama, pada saat kesetiaannya yang tulus dan kesadarannya yang tinggi menyebarkan sebuah kemuliaan yang suci ke dalam semua tulisannya.”
Sulit ada sesuatu yang mampu menggerakkan intelektualitas peneliti untuk mempercayai bahwa semua yang ia pelajari terbentuk dari sesuatu yang tambal sulam.
Pada suatu waktu, ketika hanya sedikit ahli agama yang mampu dengan seksama mengkaji sebuah Hadis Rasul secara benar, itu pun hanya terbatas pada orang-orang tua, al-Ghazali telah diangkat sebagai seorang Profesor pada universitas terkenal, Nizhamiyah di Baghdad, saat ia berusia tiga puluh tiga tahun. Intelektualitasnya benar-benar berada di tingkatan yang sulit dilampaui dalam Islam. Baginya, obyek pendidikan yang sebenarnya tidak semata untuk memberikan informasi, tetapi juga memberikan stimulasi terhadap kesadaran batin, sebuah konsep yang sangat revolusioner bagi pengajaran yang ada saat itu. Ia telah mengemukakan teorinya itu dalam bukunya, Ihya’ Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama). Dibanding Rumi (yang baru menyatakan tentang batas-batas puisi setelah menjadi penyair besar), al-Ghazali saat itu telah mampu menunjukkan keterpelajarannya. Tak kurang dari tiga ratus ribu Hadis Nabi saw. ia hafal, dan telah mendapat predikat Hujjatul-Islam (Pembela Islam).
Kekuatan-kekuatan intelektualnya yang telah menyatu dengan kegelisahan pikirannya, seperti yang ia kemukakan dalam tulisan-tulisan otobiografinya, membuatnya melakukan penyelidikan tanpa kenal lelah pada setiap dogma dan doktrin yang ia rasakan bertentangan. Ini semua dilakukan pada saat ia masih muda belia.
Selama masih mengajar, al-Ghazali telah membuat kesimpulan bahwa canon law, prinsip utama hukum (seperti yang telah ia tulis dalam buku-buku yang terpercaya) adalah basis yang tak cukup untuk mewadahi realitas, dan ia pun jatuh ke dalam Skeptisisme.
Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, al-Ghazali menggunakan dua belas tahun periode darwisnya — untuk mengembara dan melakukan meditasi, kembali ke latar belakang Sufinya untuk menemukan jawaban-jawaban yang tidak ia dapati dari dunia kebiasaan yang berlaku.
Ia mengaku bahwa telah menjadi seorang yang egois, dan sangat merindukan pujian dan pengakuan. Ketika menyadari bahwa dirinya telah menjadi sebuah penghalang dalam mencapai pemahaman yang benar, ia tidak secara mendadak merendahkan diri memilih “jalan gelap”, sebagai obat untuk segala penyakit yang menawarkan jalan menuju banyak mistik. Ia menetapkan, bahwa akan menggunakan pengembangan kesadaran agar sampai pada kebenaran obyektif
Selama periode melepaskan urusan-urusan duniawi, setelah melepaskan karirnya sebagai seorang terpelajar, dimana ia telah menyelamatkan teologi Muslim dari kerusakan, al-Ghazali menceritakan bagaimana ia berjuang melawan penguasaan dirinya. Ia telah mengembara di sepanjang wilayah Timur, untuk berziarah ke tempat-tempat suci dan mencari pencerahan serta kejelasan makna di dalam cara kaum Sufi (kaum Darwis), setiap kali ia memasuki sebuah masjid. Pada khotbahnya, sang Imam selalu mengakhiri ceramahnya dengan kata-kata, “Demikian Imam kita al-Ghazali mengatakan.”
Sufi yang mengembara itu berkata kepada dirinya sendiri, “Duhai penguasaan diri, betapa nikmat kau dengar kata-kata itu. Sebelum kuceritakan kenikmatan ini berulangkali, aku telah meninggalkan tempat ini dengan segera, untuk pergi ke tempat yang tak ada seorang pun bicara tentang al-Ghazali.”
Ahli teologi, yang telah menerima master di luar bidang-bidang keagamaan, tahu bahwa kesadaran tentang hal yang boleh jadi telah menjadi maksud dari istilah “Tuhan” adalah sesuatu yang hanya dapat diapresiasikan dengan makna-makna batin, bukan didapat melalui kerangka aneka keagamaan formal.
“Aku telah berkunjung ke Syria,” katanya, “dan berdiam di sana selama dua tahun. Tak ada obyek lain kecuali mencari kesunyian, mengalahkan kepentingan diri, berjuang melawan nafsu, mencoba menjernihkan jiwa untuk menyempumakan watakku.” Ia melakukan itu karena Sufi tidak bisa masuk ke pemahaman kecuali hatinya telah siap “bermeditasi dengan Tuhan,” sebagaimana dikatakannya.
Periode saat itu hanya cukup memberikan kepadanya pancaran-pancaran sporadis pemenuhan spiritual (rasa awal) — tingkatan yang dipertimbangkan oleh sebagian besar ajaran-ajaran mistik non-Sufi untuk menjadi puncak, tetapi kenyataannya itu hanya merupakan langkah awal.
Hal itu menjelaskan kepadanya bahwa, “Para Sufi itu bukan orang-orang yang hanya berbicara, melainkan berpersepsi batin.” “Aku telah mempelajari bahwa semua itu dapat dipelajari dengan membaca. Tetapi kelanjutannya tidak bisa diperoleh dengan studi atau bicara.”
Walaupun telah dibingungkan oleh percobaan-percobaan ekstatiknya dalam memikirkan semuanya itu dan akhir dari semua penjelajahan mistik, al-Ghazali sadar bahwa “penyerapan Tuhan, sebagaimana disebut, yang telah dianggap menjadi tujuan Sufi, kenyataannya hanyalah merupakan permulaan.”
Ia mengakhiri intelektualisine dan skolastisismenya, karena sadar bahwa semua itu adalah sebuah akhir, dan dengan demikian ia akan mampu menyelesaikan tangga-tangga pendahuluan yang dapat menyeberangkan pengalaman-pengalaman mistik ke dalam sebuah kesadaran final. Ia dapat melakukan semua itu karma telah memperoleh apa yang ia cari — sebuah bentuk pengenalan, mirip sebuah pancaran sinar langsung, yang telah memberikan sebuah perasaan keyakinan dan makna-makna untuk mencapai kesadaran tertinggi (ultimate realization). “Ini adalah sesuatu,” katanya melukiskan persepsinya, “yang secara khas mirip seseorang yang benar-benar telah meraba sebuah obyek.”
Menceritakan kebahagiaan dan kesempurnaan tentang sebuah proses transmutasi alkimia dari kesadaran manusia, al-Ghazali mengemukakan sebuah cerita tentang Bayazid (al-Bisthami), seorang guru Sufi klasik pertama, dalam bukunya Kimiyya’us-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan), untuk menekankan bagaimana amour propre (penguasaan diri) harus dilihat pertama dalam pancaran sinar yang nyata, sebelum pembersihan yang lain benar-benar dikerjakan:
Seseorang mendatangi Bayazid dan bertutur bahwa ia telah berpuasa dan beribadah selama tiga puluh tahun. Tetapi ia belum dekat pada pengenalan Tuhan. Bayazid menjawab, “Walaupun seratus tahun tak akan pernah cukup.” Orang itu bertanya, “Mengapa?”
“Karena keakuanmu telah menjadi penghalang antara dirimu dan kebenaran.”
“Berikan aku penyembuhnya!”
“Ada obatnya, tetapi ini tidak cocok untukmu.”
Laki-laki itu memaksa minta. Dan Bayazid setuju untuk menjelaskan.
“Pergilah dan cukur jenggotmu. Buka dirimu dan telanjangi, kecuali pakaian bagian pinggul ke bawah. Isi sebuah karung makanan penuh dengan buah walnut (sejenis kenari) dan pergilah ke pasar terbuka. Berteriaklah di sana, ‘Sebuah walnut untuk setiap anakyang menamparku!’ Lalu baliklah engkau menuju ke sidang di mana doktor-doktor hukum sedang mengadakan sidang!”
“Tetapi, sungguh, aku tidak bisa melakukan itu. Tunjukkanlah kepadaku cara-cara lain!”
“Hanya itu caranya,” kata Bayazid, “tetapi aku belum selesai menjelaskan semua, tak ada jalan lain untukmu.”
Al-Ghazali seperti guru-guru zuhud lainnya, mempertahankan bahwa Sufisme adalah pengajaran batin semua agama, dan ia telah menggunakan banyak kutipan dari Bibel dan Apocrypha untuk menetapkan pendiriannya. Ia telah menulis sebuah kritik awal tentang pemutarbalikan dalam idea-idea Kristen, “Al-Qaul al-Jamil fir-Radd ‘ala Man Ghayyaral Injil” (Pendapat Baik untuk Memberi Bantahan terhadap Orang yang Mengubah Injil). Sebagai konsekuensinya, tentu ia setuju berada di bawah pengaruh Kristen. Kenyataannya, setidak-tidaknya ia memang demikian, yang bahkan BBC (British Broadcasting Corporation) ketika pada kesempatan tertentu menggunakan cerita-cerita Sufi untuk program agamanya di pagi hari, mungkin saja mengambilnya dari sumber-sumber sekunder, dan menggunakannya dalam makna esoterik mereka bila sesuai dengan nilai-nilai Kristen.
Al-Ghazali telah dituduh mengkhotbahkan sesuatu dan di belakang layar mengajarkan sesuatu yang lain. Itu adalah kebenaran yang tak diragukan, jika diterima bahwa ia telah menganggap Sufisme aktif sebagai sebuah tanggung jawab khusus yang hanya cocok untuk sejumlah orang tertentu yang memiliki kemampuan untuk menerima “Kepandaian”. Aspek-aspek doktrinal dan eksternal Islam yang ia umumkan dengan ortodoksi yang benar-benar sempurna, telah diperuntukkan bagi mereka yang tidak dapat mengikuti batin “Jalan Sufi”.
Insan Kamil (Manusia Sempurna) itu, karena hidupnya dalam waktu yang bersamaan berdimensi beda, harus mengikuti lebih dari satu perangkat doktrin. Seseorang yang berenang menyeberangi sebuah danau akan melakukan gerakan-gerakan, dan bereaksi terhadap apa yang ia lihat, yang berbeda dengan seseorang yang menuruni sebuah bukit, misalnya, Ia manusia yang sama; dan ia mengerahkan seluruh kemampuan renangnya ketika menyeberang.
Dengan keberanian luar biasa ia benar-benar mengemukakan hal itu dalam bukunya, Mizanul Amal (Timbangan Amal).
Insan Kamil memiliki tiga bingkai kepercayaan:
  1. Pada lingkungannya.
  2. Pada yang ia berikan kepada murid-murid dalam menyesuaikan dengan kapasitas pemahaman mereka.
  3. Pada yang ia pahami dari pengalaman-pengalaman batin; hal ini untuk diketahui oleh sebuah kelompok khusus.
Bukunya, Misykatul Anwar (Relung Cahaya) adalah sebuah ulasan tentang Ayat Cahaya dalam al-Qur’an yang sangat populer, juga sebuah gambaran pengertian awal tentang Ayat tersebut.1
Ia menjelaskan bahwa segala sesuatu memiliki arti “bagian luar” dan arti “bagian dalam”. Keduanya tidak dapat beroperasi bersama-sama, walaupun keduanya bekerja secara konsisten dalam berbagai segi masing-masing. Versi yang berlaku dalam kelompok-kelompok umum, itu benar, tidak mengandung penafsiran yang dirancang oleh perwakilan-perwakilan persaudaraan kaum darwis yang ada; tetapi itu hanya karena kunci untuk membuka buku yang luar biasa itu tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata, karena ia merupakan sebuah bentangan pengalaman pribadi. Dengan kata lain, itu hanya bisa dipahami bila dialami.
Kenyataan ini, suatu dasar dalam Sufisme dan ditentukan oleh banyak penulis Sufi, boleh jadi bisa dipahami dengan mudah oleh pemikir-pemikir formal. Dalam sebuah terjemahan Misykatul Anwar yang digarap di Inggris oleh Direktur School of Oriental Studies, Kairo, Mr. W.H.T. Gairdner mengungkapkan kesulitan memahami al-Ghazali pada materi tentang inti pengalaman berkaitan dengan kepercayaan dan ketidakpercayaan, dan banyak lagi:
“Semua itu adalah misteri-misteri dan rahasia-rahasia yang tak terkomunikasikan dari pengungkapan, dimana penulis kita (al-Ghazali) menghindari (kesudahan) pada saat yang pasti manakala kita mengharap kesimpulannya. Itulah seni yang amat tinggi — lebih dari sekadar menggiurkan. Siapakah orang-orang yang ‘Ahli’, kepada siapa ia telah mengkomunikasikan getaran-getaran rahasia itu? Apakah hal-hal yang dikomunikasikan itu pernah ditulis untuk atau oleh calon-calon anggota saudaranya?”
Al-Ghazali menyebut rahasia-rahasia yang dialami, tetapi tak dapat ditulisnya. Ia tak tergiur untuk mencobanya.
Di sana benar-benar ada empat bagian dari karya al-Ghazali. Pertama, adalah materi filsafati yang ia tempatkan sebagai penolakan terhadap intelektual-intelektual dan teolog-teolog Muslim, dengan tujuan menjaga bersama bingkai teoritik agama. Kemudian lahir ajaran-ajaran metafisiknya seperti yang terdapat dalam karya-karyanya, Misykat dan al-Kimayya’. Setelah itu ada makna-makna yang disimpan dalam bentuk simbol di dalam berbagai karya tulisnya. Terakhir, ada ajaran yang dijabarkan dari sebuah pemahaman tentang dua hal terakhir, yang sebagian disebarkan secara lisan, dan sebagian lagi mudah dicapai oleh mereka yang mengikuti karya dan pengalaman mistiknya secara benar.
Seperti halnya para Sufi klasik, al-Ghazali menulis dan menggunakan lambang dan simbol puisi. Nama julukan yang dipilihnya sendiri yang umum ia gunakan adalah “al-Ghazali”. Terutama alat ini, “Pemintal”. Julukan ini menunjuk pada “seorang pemintal”, yang mengerjakan bahan-bahan seperti wool — kata kode untuk Sufi — dan mengandung arti “kebutuhan pemintalan” atau “kerja pemintal bahan-bahan” dan “memintal dirinya sendiri”. Juga untuk mengasosiasikan profesi yang berhubungan dengan Fathimah (yang maksudnya “Pencelup”), putri Muhammad saw. Darinya seluruh keturunan Nabi Muhammad saw menggambarkan silsilah mereka. Mereka dipercayai mewarisi pengajaran batin Islam, untuk menunjuk ke mana pengajaran batin Islam itu berhubungan dengan semua tradisi metafisik yang asli.
Perhatian penuh terhadap nama-nama puitik yang dipilih itu telah ditunjukkan oleh banyak asosiasi lain tentang kerja. Al-Ghazali juga melambangkan gazelle (istilah genetik untuk jenis-jenis antelope, tipe rusa bertanduk yang larinya cepat, seperti kijang, yang merupakan kata homonim dari “pecinta”). Tiga akar huruf GH-Z-L, dari mana kata GHaZaL diturunkan, yang itu juga berasal dari istilah teknis bahasa Arab standar dan Persia untuk menyatakan sebuah puisi cinta, sebuah tanda cinta kasih. Asal kata lain yang berakar dari kata itu juga meliputi pengertian sebuah jaring laba-laba (sesuatu yang teranyam) yang merupakan suatu keadaan yang direncanakan menjadi penghubung aksi menuju iman. Aksinya adalah penganyaman sebuah jaringan yang meliputi mulut gua, tempat Muhammad dan sahabatnya Abu Bakar bersembunyi dari musuh-musuh mereka dalam suatu kesempatan (sebelum hijrah ke Madinah).
Seorang Sufi tahu tradisi-tradisi itu. Karenanya menafsir nama al-Ghazali sesuai dengan prinsip yang telah menjadi pilihannya. Lalu, baginya, itu berarti bahwa al-Ghazali mengikuti jalan Cinta, jalan Kesufian (“benang wool”), yang artinya pekerjaan “memintal kesufian”. Al-Ghazali telah meninggalkan catatan-catatan kunci untuk diambil oleh para penggantinya, meliputi isyarat tentang keterjagaan sebuah doktrin batin (Fathimah, Pencelup) dalam konteks keagamaan yang ia alami.
Metodologi al-Ghazali diikuti oleh kelompok-kelompok Sufi dengan bermacam-macam variasi. Ia secara khusus mempertahankan penggunaan musik, untuk mengangkat persepsi-persepsi dalam buku Ihya’-nya — dalam hal yang semacam itu musik digunakan kaum Darwis dari Tarekat Mevlevi dan Chisytiyah. Di Barat, gubahan Ravel, Balero, sesungguhnya merupakan sebuah penyesuaian dari salah satu karya-karya musik yang dikomposisi secara khusus itu. Ia mengemukakan bahwa dalam upaya mengembangkan ke arah fakultas-fakultas lebih tinggi, kebanggaan diri harus dikenali dan dikalahkan. Bentuk-bentuk ini adalah bagian lain dari latihan dan studi Sufi. Ia memberi petunjuk bahwa kesadaran harus dialihkan, lebih baik daripada dikalahkan.
Itu sebenarnya digunakan dalam ungkapan khusus alkimia oleh para Sufi Abad Pertengahan yang bertanggung jawab atas sebagian besar kekacauan pikiran di kalangan peneliti-peneliti terakhir ini, perihal apa sebenarnya “alkimia” yang dimaksudkan. Sebagian menyatakan bahwa itu adalah sebuah bentuk samaran dari sebuah penyelidikan spiritual. Sebagian lagi menjawab, bahwa laboratorium-laboratorium para ahli alkimia telah diuji dan menunjukkan semua indikasi penggunaannya untuk eksperimen-eksperimen nyata. Karya-karya yang berasal dari para ahli alkimia spiritual telah digambarkan sebagai uraian kimiawi.
Al-Ghazali berkata demikian, “Emas alkimia lebih baik dari emas, tetapi ahli-ahli alkimia yang sebenarnya sangat jarang, karena itu merekalah Sufi-sufi yang sebenarnya. Tetapi orang yang punya sedikit pengetahuan kesufian tidak lebih baik dari seorang yang terpelajar.” (Kimiyya’us-Sa’adah).
Pertama kali perlu dicatat bahwa sebagian besar tradisi alkimia masuk ke Barat melalui sumber-sumber Arab dan apa yang disebut Lempengan Zamrud dari Hermes, the Thrice Greatest, bentuknya yang asli ditemukan di Arab. Lebih dari itu, perlu dicatat pula bahwa Sufi klasik yang pertama adalah Jabir bin al-Hayyan, dikenal sebagai sang Sufi, ahli alkimia dan okultis — Latin terkenal dengan Geber, yang hidup tiga abad sebelum al-Ghazali.
“Karya Agung” itu yang merupakan ungkapan terjemahan Sufi dan doktrin tentang mikrokosmos-makrokosmos (apa yang di atas sama dengan apa yang di bawah) juga terdapat dalam tradisi Sufi, dan diperkaya oleh al-Ghazali. Apabila Sufisme ternyata bukan ciptaan yang terikat pada suatu waktu tertentu, maka tak ayal lagi bahwa gagasan yang mirip mesti terdapat dalam tradisi-tradisi kebatinan asli lainnya. Kecuali kalau semua hal kebatinan itu benar-benar dipahami, maka pengamatan atas teori transmutasi dari yang kasar ke yang halus dari pijakan yang memadai, tiada lagi berguna.
Karya al-Ghazali Ihya’ Ulumiddin secara luas sangat berpengaruh di kalangan Muslim Spanyol (sebelum ia diakui sebagai ulama agung dalam Islam) karena mengandung pernyataan-pernyataan seperti:

Masalah pengetahuan Ilahiyah itu begitu dalam sehingga hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang mengalaminya. Seorang bocah tidak mungkin memahami jangkauan pengetahuan seorang dewasa yang sebenarnya. Seorang dewasa yang awam tidak mungkin memahami pencapaian seorang yang terdidik. Demikian pula seorang yang terdidik tidak mungkin memahami pengalaman-pengalaman para wall yang tercerahkan atau para Sufi.
Ihya’ mengandung penjelasan-penjelasan yang sangat penting dengan cinta ideal Sufi. Adapun perumpamaan manusia dengan sesamanya atau dengan makhluk seringkali digunakan. Dengan mengutip guru Sufi Malik bin Dinar, al-Ghazali menyatakan dalam Ihya’, Jilid IV “Seperti burung sejenis terbang bersama-sama, dua orang mempunyai kemampuan umum yang sama akan bergabung.”2
Al-Ghazali menjelaskan bahwa suatu “(pemakaian) pembauran dari (kata) seekor babi, seekor anjing, setan dan seorang wali” adalah titik pijak yang tidak lazim bagi pikiran yang berusaha mencapai pemahaman yang mendalam tentang hal-ihwal, dan pembauran ini tidak dapat dipahami melalui definisi. “Anda harus berhenti memandang sebuah bantal apabila sedang mencoba melihat sebuah lampu.”
Cara pembauran banyak hal adalah dibenarkan, sementara metode refleksi yang khas melalui pencerminan (penyamaan) ini harus dipahami dan dipraktekkan. Metode tersebut adalah pengetahuan sekaligus praktek yang merupakan hasil spesialisasi Sufi.
Teknik-teknik Sufisme tertentu untuk mencapai kemampuan mempelajari dan pembelajaran itu sendiri, seperti hikmah yang merupakan pencapaian terakhir, adalah hasil pendekatan kongkret. ‘Ada banyak tingkat pengetahuan,” tandas al-Ghazali. “Manusia secara fisik semata laksana semut berjalan di atas kertas, yang mengamati tulisan tinta dan hanya menghubungkan penulisannya dengan pena.” (Kimiyya’us-Sa’adah).
Apa hasil spesialisasi ini, selama dunia menjadi perhatian? Al-Ghazali menjawab dengan istilah-istilah khusus dalam Kimiyya. Sebagian orang mengendalikan tubuh mereka sendiri. “Para individu yang mencapai puncak kemampuan tertentu itu (mampu) mengendalikan tubuh mereka sendiri, demikian pula terhadap orang lain. Seandainya sebuah cacat di tubuh mereka ingin dipulihkan, maka ia tentu memulihkannya … Mereka mempunyai daya tarik atas orang lain karena suatu pengaruh kehendak.”
Ada tiga kualitas sebagai hasil dari spesialisasi Sufi yang dapat diungkapkan dengan istilah yang dapat dipahami pembaca awam:
  1. Kemampuan ekstra persepsi, yang secara dasar dikerahkan.
  2. Kemampuan mengeluarkan diri dari lingkungannya.
  3. Kesadaran langsung atas pengetahuan. Bahkan apa yang biasanya sulit dicapai, mereka memahaminya melalui iluminasi atau pengamatan batiniah.
Kemampuan-kemampuan tersebut mungkin tampak khusus atau asing, namun semua itu sebenarnya hanya sebagian tingkat wujud atau eksistensi yang lebih tinggi, dan hanya dapat diterima orang awam melalui cara yang kasat ini. “Hubungan timbal balik (kesalingterkaitan) ini tidak dapat dijelaskan secara biasa; seperti dalam banyak hal lainnya, kita tidak dapat menjelaskan pengaruh puisi terhadap orang yang telinganya tidak dapat menangkapnya, atau pengaruh warna terhadap orang yang fungsi penglihatannya cacat.”
Al-Ghazali menjelaskan, manusia mampu hidup dalam beberapa taraf yang berbeda. Manusia biasanya tidak cukup tahu tentang kemampuannya untuk membedakan. Manusia (biasanya) berada pada salah satu taraf berikut ini. “Taraf pertama, ketika ia seperti seekor ngengat. Mempunyai penglihatan, tapi tidak mempunyai memori. Ia akan terus-menerus melapukkan (kain) dengan cara yang sama. Taraf kedua, ibarat seekor anjing, walaupun sedang lelah ia akan lari tunggang-langgang ketika melihat sebuah tongkat (pemukul). Taraf ketiga, seperti seekor kuda atau domba, keduanya akan segera lari ketika melihat seekor singa atau serigala yang merupakan musuh alami mereka. Namun keduanya tidak akan lari karena seekor unta atau kerbau, meskipun hewan tersebut lebih besar dari musuh turun-temurunnya itu.” Taraf keempat, manusia sepenuhnya melampaui keterbatasan-keterbatasan binatang tersebut. Kini ia mampu menggunakan beberapa kedalaman pandangan inderawi secara fungsional. Hubungan antara taraf yang berkenaan dengan daya penggerak tersebut dapat disetarakan dengan:
  1. Berjalan di atas tanah.
  2. Menumpang perahu.
  3. Naik kereta.
  4. Berjalan di atas laut.
Selain semua ini, ada yang mungkin menyatakan bahwa pada fase tertentu manusia dapat terbang di udara dengan kekuatan dirinya sendiri.
Orang biasanya berada pada salah satu dari dua taraf yang pertama. Dalam hal ini mereka tidak bertahan sebagaimana seharusnya. Dalam keadaan statis, mereka senantiasa bertentangan dengan orang-orang yang senantiasa dinamis.
Dalam karya metafisisnya, al-Ghazali jarang sekali mempersulit diri untuk memaksa orang mengikuti langkah Sufi. Namun, dalam satu ulasan pendek, ia benar-benar menandaskan satu argumen: “Jika apa yang dikatakan para Sufi itu benar — bahwa ada upaya sangat penting dalam hidup yang menunjuk suatu hubungan dengan masa depan manusia — maka ada banyak perkara di dunia masa depan itu. Di sisi lain, jika tidak ada hubungannya, maka sama sekali tidak ada persoalan.” Oleh karena itu, al-Ghazali mengajukan, “Tidakkah lebih baik membebaskan prasangka itu dengan menunjukkan sudut pandang tersebut? Selebihnya akan sangat terlambat.”
Selanjutnya, dalam Kimiyya’us-Sa’adah al-Ghazali kembali pada persoalan aspek psikologis musik. Ia mencatat bahwa mekanisme musik dan tari dapat digunakan untuk menggairahkan (hidup). Musik dapat menjadi sebuah metode untuk menciptakan dampak emosional. Namun ia mempertahankan bahwa ada sesuatu fungsimusik yang polos — musik yang tidak menimbulkan sentimen agama-semu — yang digunakan sebagai sarana ibadah.
Penggunaan musik di kalangan Sufi berbeda dengan penggunaan secara emosional. Sebelum seorang Sufi terlibat dalam kegiatan musikal, termasuk mendengarkan musik, pastilah ditentukan melalui pencermatannya, apakah musik tersebut akan berguna bagi pengalamannya.
Ada sebuah centa berhubungan dengan masalah ini yang menunjukkan bagaimana seorang guru Sufi (Syekh al -Jurjani) menjelaskan kepada seorang murid yang (dianggap) belum pantas mendengarkan musik dalam lingkaran Sufi sebagai tujuan penghayatan. Dalam menanggapi permohonannya, Syekh itu menjawab, “Berpuasalah selama seminggu. Kemudian ada masakan lezat dihidangkan untukmu. Jika engkau lebih suka pada kegiatan musikal, maka silahkan ikut!”
“Keterlibatan dalam musik dan ‘tari’ dalam setiap keadaan,” kata al-Ghazali, “bukan saja dilarang, namun sebenarnya berbahaya bagi calon murid.” Psikologi modern ternyata masih belum menyadari adanya fungsi khusus untuk meningkatkan kesadaran.
Realitas “ungkapan” pengalaman Sufii sangat sulit dipahami “orang luar” yang terbiasa berpikir dengan cara-cara yang berbeda dengan ungkapan itu. “Kelonggaran harus dilakukan kepadanya,” kata al-Ghazali, “karena ia tidak paham terhadap ungkapan-ungkapan itu. Ia laksana orang buta yang mencoba memahami pengalaman melihat dedaunan yang hijau atau aliran air.”
Paling jauh “orang luar” hanya dapat mempertalikan pengalaman yang disampaikan kepadanya sesuai dengan pengalaman-pengalamannya sendiri yang sensual, menggairahkan dan emosional. “Namun orang yang bijak tidak akan mengingkari ungkapan-ungkapan yang sederhana itu meskipun ia tidak mengalaminya; meskipun bentuk opini tersebut amat sangat bebal”.
Wawasan kalangan Deistis [kalangan yang percaya kepada Tuhan secara alamiah atau secara kultural (Deisme)] yang disebut pengalaman mistik itu, yang sama sekali tidak menghasilkan pengetahuan unggul dan hanya merupakan suatu bentuk (pengalaman) yang memabukkan, bukanlah satu-satunya pengalaman yang berusaha dilukiskan oleh al-Ghazali. Setidaknya ia cenderung menerima anggapan bahwa ada semacam perasukan Ilahi ke dalam diri manusia. Namun, seluruh penyampaian (pengalaman) lewat upaya penyulihan dengan sarana ‘kata’, yang secara adequate (memadai-makna) tidak akan terpenuhi, telah ditiadakan, bahkan mungkin ditentang. Seorang Sufi, pengulas al-Ghazali, mencatat bahwa hal-ihwal yang merupakan pengalaman komprehensif, “tidak dapat dikandungi (dilingkupi) dengan ungkapan secara lisan, lebih-lebih lagi apabila ia menganggap gambar buah di kertas dapat dimakan atau mengandung gizi.”
Upaya kalangan cendekiawan atau eksternalis (zhahiriyah) dalam memahami sesuatu — seolah-olah ia “mengetahui”-nya — dengan memaksakan pemakaian sesuatu yang berada “di seberang”, adalah “seperti seseorang yang bercermin, membayangkan bahwa wajahnya sama dengan kesan (bayangan) yang ada di cermin”.
Dalam pertemuan para darwis, ada semacam kejang ekstase dan tanda-tanda lain tentang pengalaman atau keadaan yang menyimpang. Al-Ghazali mengutip bahwa satu kali Syekh Junaid yang Agung menegur seorang pemuda yang mengalami “ceracau/kegilaan” pada suatu pertemuan Sufi. “Jangan pernah lakukan itu lagi, atau tinggalkan majelisku!” tandas Junaid kepadanya. Kepercayaan Sufi adalah, bahwa peristiwa semacam itu yang mungkin berasal dari perubahan-perubahan batin adalah semu atau emosional semata. Adapun pengalaman yang sejati tidak menimbulkan gejala fisik sedemikian itu, baik berupa “ungkapan secara lisan” atau bergulir-gulir di lantai. Dalam Riyadh al-Asrar (Kebun Rahasia), Sufi termasyhur Mahmud Syabistari mengulas, “Apabila engkau tidak mengetahui ungkapan-ungkapan ini, biarkanlah, jangan pula bergabung dengan orang kafir dalam ketidaktahuan yang semu … Namun mereka semua tidak mempelajari rahasia-rahasia jalan itu.”
Pembuktian-pembuktian tersebut sedikit banyak berkaitan dengan emosi penggunaan kata-kata yang melemahkan dan akhirnya meruntuhkan agama formal. Membuat ungkapan-ungkapan yang berkait dengan Tuhan, keimanan, atau setiap agama, merupakan persoalan eksternal, paling banter sesuatu yang emosional. Karena itu, kalangan Sufi tidak akan membahas Sufisme dalam konteks yang sama dengan agama. Sementara berbagai taraf itu termasuk dalam Sufisme.
Konon, ada pengalaman batin yang dapat dilihat sebagai fraseologi agama yang lazim, yaitu ungkapan-ungkapan tertentu yang sepenuhnya mengandung makna, karena terjadi peralihan dari yang kasar ke yang lebih halus. Al-Ghazali menggambarkan fakta ini melalui sebuah kisah. Mahaguru Sufi Fudhail bin Iyadh (w. 801) berkata, “Apabila ada yang bertanya, ‘Apakah engkau mencintai Tuhan?’ Jangan engkau jawab! Karena jika engkau jawab,’Aku tidak mencintai Tuhan,’ berarti engkau seorang yang tidak percaya (kafir). Namun, jika engkau menjawab, ‘Aku benar-benar mencintai Tuhan,’ maka perbuatan-perbuatanmu akan bertentangan dengan ucapanmu itu’.”
Apabila seseorang memahami tentang cinta religius, ia tentu akan mengungkapkannya dengan cara sendiri, bukan menurut cara yang lazim bagi orang-orang yang tidak mengetahuinya. Setiap orang akan terangkat (kedudukannya) atau sebaliknya sesuai dengan kemampuan dirinya dan apa yang diakrabinya. Al-Ghazali berkisah: “Seseorang pingsan karena menghirup parfum bazar, kemudian orang-orang mencoba menyadarkannya dengan aroma yang manis. Datanglah orang yang mengenalnya, lalu berkata, ‘Aku dulu tukang sapu, orang itu juga. Ia akan sadar apabila mencium (aroma) yang terbiasa baginya.’ Maka dzat yang aromanya memuakkan dioleskan di hidungnya, seketika ia sadar kembali.”
Bentuk pernyataan ini pada umumnya merupakan anathema (gugatan) terhadap mereka yang mencoba menyetarakan kesan-kesan biasa dengan tataran wujud yang lebih tinggi, dan menganggap bahwa mereka setidaknya mengalami tingkat-tingkat ketuhanan atau mistik hanya menurut — dan tidak lebih dari — tingkat-tingkat akar rumput (awam). Bentuk awam ini memang sesuai dengan konteksnya dan tidak dapat ditransposisi. Sepeda motor tidak dapat berjalan bila diisi dengan mentega, meskipun mentega sendiri adalah bahan yang sangat istimewa. Bagaimana juga, tak seorang pun bermaksud menyetarakannya dengan bensin. Doktrin Sufi tentang suatu kesatuan rangkaian dzat murni, dalam hal ini, akan dilihat sebagai benar-benar berbeda dengan kemurnian sistem lainnya. Dua madzhab yang lain mempertahankan bahwa dzat keseluruhannya pasti musnah, atau pasti digunakan. Secara faktual, tingkat dzat mempunyai fungsinya sendiri; dan dzat selanjutnya meningkatkan kemurniannya sehingga ia menjadi apa yang pada umumnya dianggap terpisah, yaitu spirit (jiwa).
Al-Ghazali menjelaskan doktrin itu: “Memahami berbagai fungsi yang tampaknya sama itu pada tataran-tataran yang berbeda adalah penting (dan perlu), contohnya: mata mungkin melihat benda yang besar tampak kecil, seperti ia melihat matahari sebesar mangkok … Akal menyadari bahwa matahari ternyata beberapa kali lebih besar dari bumi … Kemampuan berimajinasi dan berfantasi seringkali menghasilkan kepercayaan dan melampaui pendapat (keputusan) yang mereka anggap sebagai hasil pemahaman. Maka dari itu, kekeliruan ini adalah proses bawah sadar berupa ketidaksadaran atau ketidakpekaan (rasa).” (Misykatul Anwar, bagian yang pertama). Yang dimaksud ketidakpekaan menurut al-Ghazali adalah mengacu kepada orang-orang yang tidak mampu memahami kesan-kesan dan makna yang beragam. Di antara beberapa hal penting tentang “diri” di dalam Ihya’.
“Diri” adalah suatu serapan personalitas manusia, yang digunakan untuk menangkap kesan-kesan dan mempergunakan kesan-kesan untuk pemuasan (jiwa), namun juga berarti kualitas individu yang batiniah dan hakiki. Menurut kapasitas ini, nama formanya berbeda sesuai dengan fungsinya. Manakala esensi itu menjalankan secara benar reorganisasi kehidupan emosional dan mencegah kebingungan, maka itulah yang dikenal sebagai “Diri yang Tentram” [an-Nafs al-Muthma'innah]. Dalam penerapan kesadaran, ketika ia sedang menyadari laki-laki atau perempuan sebagai materi yang berbeda, maka kesadaran itu disebut “Diri yang Cenderung”. Namun dalam hal ini, ada persoalan yang sangat pelik karena, untuk tujuan penjelasan dan pengajaran, “Diri yang Hakiki” itu harus dinamai. Kendati demikian, pembedaan cara kerjanya sesuai dengan penampilan dapat memberikan kesan bahwa ada sejumlah hal yang berbeda atau bahkan ada tingkat perkembangan yang berbeda. Adalah absah merepresentasikan proses itu sebagai tahap-tahap yang secara sadar disusun, tetapi paling jauh hanya sebagai perbedaan ilustratif Kesadaran Sufi yang diterapkan secara benar akan melihat berbagai tahap transmutasi hakikat itu dengan cara yang istimewa dan khas, yang secara memadai, tidak disalin dengan terminologi yang lazim. Manakala hakikat itu diterapkan secara normal bagi orang yang terbelakang (secara mental), maka ia mengarahkan potensialitasnya pada mekanisme yang (hanya) memperturutkan kepuasan-kepuasan bersahaja, dan kesadaran ini dikenal sebagai “Diri yang Terpimpin”.
Al-Ghazali menandaskan, “Keadaan-keadaan khusus itu mudah dipahami dan mengesankan bahwa setiap hal juga mudah dipahami. Akan tetapi ada situasi-situasi yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang meniliknya dengan suatu cara tertentu (yang istimewa). Ketidaktahuan pada (mekanisme) ini menimbulkan kesalahan-kesalahan umum yang menganggap segala hal sebagai sesuatu yang seragam.”
Seperti pada guru Sufi yang lain, al-Ghazali menyadari bahwa ia harus mengulang argumennya dengan cara-cara yang berbeda sebagaimana dituntut dalam teksnya. Hal ini hanya sebagian saja, karena metode Sufi mungkin membutuhkan pijakan yang sama untuk dibahas melalui sejumlah gagasan-gagasan lainnya, dan karena, seperti seringkali disaksikan dalam diskusi kelompok, orang mungkin (hanya) berlagak dalam mengungkapkan suatu gagasan penting yang belum dipahaminya. Gagasan sebenarnya harus diolah sebagai kekuatan dinamis dalam pikiran murid. Bagaimana juga, karena ia terkondisi dan terlatih, murid akan menerima sebuah gagasan sebagai suatu yang terbiasa. Hasil kegiatan ini akan tampak apabila ia merespon secara sadar ketika stimulus gagasan tertentu diterapkan kepadanya. Pengkondisian mana pun, ketika telah terjadi, harus dihentikan sebelum dampak pengalaman sang Sufi dapat mewujudkan diri.
Kesalahpahaman dalam pemakaian istilah “Anak Tuhan” (yang disifatkan kepada Yesus) dan “Ana al-Haqq” (yang diungkapkan sang Sufi al-Hallaj)3 sebenarnya disebabkan oleh persoalan tersebut. Upaya mengungkapkan keadaan-keadaan itu melalui bahasa tidaklah memadai, karena ungkapan tersebut menimbulkan kesalahpahaman.
Dalam Ihya’ al-Ghazali menyatakan bahwa individu mengalami tahap-tahap perkembangan batin yang analog dengan manusia yang tumbuh dewasa. Perkembangan bertahap ini menyebabkan penggunaan cara-cara yang berbeda dalam pengalamannya. Karena itu, seorang Sufi tidak membutuhkan pengalaman fisik tertentu, sebab perkembangannya telah menyulih suatu kemampuan menjadi lebih logis, pengalaman yang lebih bermutu. “Sebagai contoh, setiap tingkat kehidupan ditandai dengan suatu kesenangan yang baru. Anak-anak senang bermain dan tidak mempunyai konsepsi tentang perkawinan yang menyenangkan itu, yang akan mereka alami suatu saat. Selanjutnya orang dewasa, pada waktu mudanya, tidak akan mempunyai kemampuan (merasakan) kesenangan (memiliki) kekayaan dan kemasyhuran yang dialami kelompok usia setengah baya. Kemudian yang terakhir ini, mungkin menganggap kegembiraan terdahulu tidak lebih nyata daripada saat sekarang. Individu pada perkembangannya, tentu, akan menyadari ketaksempurnaan, ketidakpekaan atau kebiasaan sporadis masa remaja yang menyenangkan itu dibandingkan dengan kemampuan-kemampuan apresiasi mereka yang baru.”
Alternasi (pemakaian) berbagai kiasan itu, yang mencegahnya terkristalisasi menjadi semata-mata pengubahan mekanisme, merupakan prosedur umum dalam pokok pengajaran madzhab-madzhab Sufi. Di dalam karya-karyanya, al-Ghazali kerapkali menyulih pengajarannya dengan pengertian lahir apabila mempunyai makna batin yang sama. Dalam Minhajul-Abidin, ia membahas tentang kemajuan bertahap dari kimiawi kesadaran sebagai tujuh “lembah” pengalaman: Lembah Pengetahuan, Kembali (Tobat), Rintangan-rintangan, Godaan-godaan, Cahaya, Jurang-jurang dan Pujian. Semua ini merupakan rangka proyeksi risalah Sufi yang lebih teologis dan merupakan media perantara, sehingga kalangan Muslim dan Kristen yang saleh mampu memetik manfaat tentang ajaran Sufi. Menarik untuk dicatat bahwa Bunyan dan Chaucer telah menggunakan bahan ajaran Sufi ini untuk memperkuat pemikiran Katholik. Adapun para guru Timur seperti Aththar dan Rumi mempertahankan hubungan dengan arus pemaknaan yang lebih langsung dari tema “pencarian”; hal ini mungkin karena mereka adalah guru-guru praktek, namun juga teori, dalam lingkungan madzhabnya.
Kebahagiaan manusia, menurut al-Ghazali, secara berturut-turut menjalani pemurnian sesuai dengan “keadaan wujud”-nya. Ajaran ini, yang tidak akan terpahami pandangan manusia biasa tentang adanya bentuk standar kebahagiaan, sebagai suatu abstraksi, merupakan suatu ciri-ciri yang kuat dari pengetahuan Sufi.
Manusia mempunyai beberapa kemampuan, masing-masing menanggapi tipe kesenangannya sendiri. Pada mulanya ada tipe fisikal. Demikian pula ada fakultas moral, yang saya sebut akal sejati, yang menyenangi perolehan pengetahuan sebanyak mungkin. Jadi ada kegemaran lahir dan batin. Demikian pula keduanya akan dipilih menurut pemurniannya.
“Seorang manusia yang mempunyai suatu kemampuan menerima kesempurnaan Wujud akan memilih kontemplasi. Bahkan dalam kehidupan ini, kebahagiaan pengembara yang sejati adalah tiada tara — lebih agung daripada yang mungkin dibayangkan.”

Rabu, 28 September 2011

Imam Al Ghozali

Iman Al-Yafi’I r.h. meriwayatkan dengan sanad yang sohih sebuah kisah sebagai berikut :
Syaikh Abal Hasan r.h. seorang ahli fiqih yang di zamannya ditaati dan didengar perkataannya pernah menentang kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Gozali q.s. Beliau berpandangan bahwa Ihya Ulumiddin telah melanggar As-Sunnah.
Puncak penentangan itu beliau ekspresikan dengan memerintahkan untuk mengumpulkan naskah Ihya Ulumiddin. Beliau berencana membakarnya di hadapan masyarakat pada hari Jum’at di masjid jami’.
Pada malam jum’at itu, beliau bermimpi. Dalam mimpi itu beliau masuk ke masjid jami’. Di sana dilihatnya ada Nabi Muhammad s.a.w. bersama sohabat Abu Bakar As-Sidiq r.a. dan ‘Umar bin Khottob Al-Faruq r.a. Saat itu dilihatnya pula Imam al-Gozali q.s. berada di hadapan Nabi s.a.w.
Ketika Syaikh Abal Hasan datang menghadap, Imam Al-Gozali q.s. berkata, “Orang ini memusuhiku ya Rosulalloh. Apabila masalah sebagaimana yang ia sangka, maka aku akan bertaubat dan apabila bagiku ada berkahmu dan aku termasuk mengikuti sunnahmu maka tunaikanlah hakku dari musuhku ini”
Kemudian Nabi s.a.w. mengambil kitab Ihya Ulumiddin. Dibukalah oleh beliau selembar demi selembar dari awal sampai akhir. Lalu beliau bersabda, “Demi Allah, sungguh ini sesuatu yang baik”.
Diambillah kemudian Ihya Ulumiddin itu oleh Abu Bakar As-Sidiq r.a. Beliau menelitinya lalu berkata, “Benar, demi Zat yang mengutus engkau dengan haqq (kebenaran), sungguh ini sesuatu yang baik”.
Diambil pula kemudian oleh ‘Umar bin Khottob r.a. Beliau pun menelitinya, kemudian memujinya sebagaimana Abu Bakar as-Sidiq r.a.
Turunlah perintah dari Nabi s.a.w untuk membuka baju Syaikh Abal Hasan dan memukulnya dengan had (hukuman) untuk pemfitnah.
Saat hukuman telah dilakukan lima kali pukulan cambuk. Abu Bakar As-Sidiq r.a. memberikan pertolongan dan pembelaan. Beliau berkata, “Ya Rosulalloh, ia menyangka telah terjadi pelanggaran sunnahmu dan ternyata sangkaannya salah”.
Mendengar itu Imam Al-Gozali q.s. meridoinya dan menerima pembelaan Abu Bakar As-Sidiq r.a.
Terbangunlah Syaikh Abal Hasan r.h. dan menemukan bekas cambukan di punggungnya.
Kejadian ini beliau beritahukan kepada para sahabatnya. Beliau bertaubat kepada Allah SWT dari ingkarnya terhadap Imam Al-Gozali q.s.
Bekas cambukan itu terus terasa sakit dalam waktu yang lama. Beliau memohon kepada Allah SWT dan meminta syafa’at Nabi s.a.w. Sampai suatu ketika Nabi s.a.w. datang dalam mimpinya. Beliau mengusap punggungnya sehingga ia sembuh dengan izin Allah SWT.
Setelah itu beliau terus-menerus mempelajari Ihya Ulumiddin. Allah SWT bukakan baginya apa yang ada di dalamnya, sehingga beliau menggapai ma’rifatullah dan menjadi seorang syaikh besar dalam ilmu lahir dan batin. Rohimahulloh. Amin***

Nasehat Imam Ghazali 

Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya….pertama,”Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawab “orang tua,guru,kawan,dan sahabatnya”. Imam Ghozali menjelaskan semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “MATI”. Sebab itu sememangnya janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Ali Imran 185)
Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua…. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”. Murid -muridnya menjawab “negara Cina, bulan, matahari dan bintang -bintang”. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahawa semua jawapan yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah “MASA LALU”. Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga…. “Apa yang paling besar di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawah “gunung, bumi dan matahari”. Semua jawapan itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “NAFSU” (Al A’Raf 179).Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.
Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?”. Ada yang menjawab “besi dan gajah”. Semua jawapan adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “MEMEGANG AMANAH” (Al Ahzab 72).Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.
Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”…Ada yang menjawab “kapas, angin, debu dan daun-daunan”. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Sholat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan sholat, gara-gara bermesyuarat kita meninggalkan sholat.
Dan pertanyaan keenam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”…Murid-muridnya menjawab dengan serentak, “pedang”. Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “LIDAH MANUSIA” Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

 

Imam Muslim

Penghimpun dan penyusun hadits terbaik kedua setelah Imam Bukhari adalah Imam Muslim. Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab As-Sahih (terkenal dengan Sahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut pendapat yang sahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya ‘Ulama’ul Amsar.*
Kehidupan dan Lawatannya untuk Mencari Ilmu
Ia belajar hadits sejak masih dalam usia dini, yaitu mulaii tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara negara lainnya.
Dalam lawatannya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak ia belajar hadits kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’Abuzar; di Mesir berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadits yang lain.

Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Sahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Sahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalam Sahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.
Imam Muslim wafat pada Minggu sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun.
Guru-gurunya
Selain yang telah disebutkan di atas, Muslim masih mempunyai banyak ulama
yang menjadi gurunya. Di antaranya : Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa’id al-Ayli, Qutaibah bin Sa’id dan lain sebagainya.
Keahlian dalam Hadits
Apabila Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadits sahih, berpengetahuan luas mengenai ilat-ilat dan seluk beluk hadits, serta tajam kritiknya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya.
Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama ahli hadits maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi berketa, “Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya.” Pernyataan ini tidak berarti bahwa Muslim hanyalah seorang pengekor. Sebab, ia mempunyai cirri khas dan karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab, serta metode baru yang belum pernah diperkenalkan orang
sebelumnya.
Abu Quraisy al-Hafiz menyatakan bahwa di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Muslim (Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150). Maksud perkataan tersebut adalah ahli ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy, sebab ahli hadits itu cukup banyak jumlahnya.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :
1. Al-Jami’ as-Sahih (Sahih Muslim).
2. Al-Musnadul Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadits).
3. Kitabul-Asma’ wal-Kuna.
4. Kitab al-’Ilal.
5. Kitabul-Aqran.
6. Kitabu Su’alatihi Ahmad bin Hambal.
7. Kitabul-Intifa’ bi Uhubis-Siba’.
8. Kitabul-Muhadramin.
9. Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahid.
10. Kitab Auladis-Sahabah.
11. Kitab Awhamil-Muhadditsin.
Kitab Sahih Muslim
Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al Jami’ as-Sahih, terkenal dengan Sahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling sahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Sahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam.
Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadits-hadits yang diriwayatkan, membandingkan riwayat riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa, maka lahirlah kitab Sahihnya.
Bukti kongkrit mengenai keagungan kitab itu ialah suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahwa ia pernah berkata: “Aku susun kitab Sahih ini yang disaring dari 300.000 hadits.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : “Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Sahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadits.
Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahwa jumlah hadits Sahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadits. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu bahwa perhitungan pertama memasukkan hadits-hadits yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung hadits-hadits yang tidak disebutkan berulang.
Imam Muslim berkata di dalam Sahihnya: “Tidak setiap hadits yang sahih menurutku, aku cantumkan di sini, yakni dalam Sahihnya. Aku hanya mencantumkan hadits-hadits yang telah disepakati oleh para ulama hadits.”
Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya: “Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad
ini.”
Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadits yang diriwayatkan dalam Sahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut : “Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadits dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadits daripadanya melainkan dengan alasan pula.”
Imam Muslim di dalam penulisan Sahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebagian naskah Sahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang kemudian. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya.
Sumber: Kitab Hadis Sahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah*

Imam Malik

Imam Malik Yang Mencintai Ilmu

Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amar bin Harits, dilahirkan di Madinah pada 93 Hijrah. Moyangnya Abu Amir berasal dari Yaman yang berhijrah ke Madinah untuk berguru dengan Rasulullah s.a.w dan menjadi antara sahabat baginda yang setia. Ibunya pula Aliyah Syuraik dan ada riwayat menyatakan ibunya mengandungkan dia selama dua tahun sebelum melahirkannya di Kampung Zuwarmah di utara Madinah. Malik dilahirkan pada zaman pemerintahan khalifah Umaiyyah keenam, Khalifah Al-Walid Abdul Malik Madinah yang terkenal sebagai pusat ilmu telah memupuk cintanya terhadap ilmu al-Quran dan hadis. Dia akan membuat satu simpulan tali setiap kali belajar sesebuah hadis untuk mengingatkannya jumlah hadis yang dipelajarinya. Punya daya ingatan yang sangat kuat, dan pernah suatu ketika gurunya, Ibnu Syihab menyampaikan 30 hadis, dia hanya mendapat 29 hadis saja; dia sanggup bertemu gurunya semula memintanya mengulang semula satu hadis yang tertinggal itu.
Zaman remajanya, Malik pelajar yang sangat miskin sehingga terpaksa menjual kayu dari bumbung rumahnya yang runtuh untuk mendapatkan wang. Dalam usia 17 tahun, dia sudah mendalami pelbagai ilmu agama. Dia juga masih sangat rajin belajar walaupun selepas berumah tangga dan dikatakan mempunyai 900 orang guru yang separuh daripadanya adalah ulama tabien.

Malik sangat mencintai ilmu hadis dan dikatakan, jika dia dipanggil untuk bercakap mengenai fikah, dia terus keluar dengan pakaian yang melekat di tubuhnya. Tetapi jika dia dipanggil untuk bercakap mengenai hadis, dia akan mandi, berpakaian kemas serta memakai harum-haruman sebelum keluar. Dia juga melarang orang bercakap nyaring dalam majlis hadis sebagai menghormati Rasulullah kerana hadis datangnya daripada Rasulullah.
Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul hadis yang diterima daripada gurunya. Sebanyak 100,000 hadis dihafalnya, tetapi selepas disaring, hanya 10,000 diakui sah, yang kemudian dipadankan dengan firman Allah. Akhirnya, hanya 5,000 yang diterima sebagai benar-benar sabda Rasulullah. Hadis ini dihimpun dalam kitab pertamanya, al-Muwatta’.
Ada riwayat menyatakan, khalifah kedua Bani Umaiyah, Abu Jaafar al-Mansur di Baghdad menggesa Malik supaya menulis ilmunya untuk dijadikan rujukan. Selepas mengumpul hadis itu, dia bingung memikirkan judul sesuai untuk kitabnya sehingga bermimpi dikunjungi Rasulullah yang bersabda kepadanya, “sebarkan kitab ini kepada manusia.”
Akhirnya dia memutuskan untuk menamakan kitab sulungnya itu al-Muwatta’ bermaksud Yang Disepakati atau Tunjang atau Panduan. Kerana lamanya masa yang diambil untuk menyusun kitab ini, khalifah meninggal sebelum sempat menatapnya. Pada zaman pemerintahan Harun al-Rashid, al-Muwatta’ begitu dihormati sehingga khalifah mencadangkan kitab itu digantung di Kaabah sebagai lambang perpaduan ulama dalam hal agama tetapi dibantah Malik.
Khalifah pernah mengutus Syeikh al-Barmaki untuk menjemput Malik mengajar di istananya. Sebaliknya Malik menjawab, “ilmu pengetahuan harus didatangi dan tidak disuruh mendatangi.” Utusan itu pulang ke Iraq dan menyampaikan pesan berkenaan.
Khalifah menghantar dua anak lelakinya ke majlis ilmu Malik di Madinah. Ketika menunaikan haji, khalifah sempat menemui Malik dan memintanya membacakan kitabnya. Malik sebaliknya meminta khalifah hadir ke majlis ilmunya sahaja. Khalifah membalas, mahu mendengar kitab itu di rumah Malik sendiri tetapi Malik merendah diri menyatakan, kediamannya buruk, tidak sesuai untuk dikunjungi seorang amirul mukminin.
Khalifah menghadiahkan 3,000 dinar emas kepada Malik untuk membina rumah baru. Hanya sedikit wang yang digunakan dan selebihnya diberikan kepada sahabat lain. Suatu hari, semasa khalifah di Madinah, sekali lagi Malik dijemput ke tempatnya untuk membacakan al-Muwatta’.
Mulanya dia enggan tetapi akhirnya bertukar fikiran lalu ke tempat khalifah. Katanya, “saya harap janganlah tuanku jadi orang pertama yang tidak menghormati ilmu. Saya tidak menolak permintaan tuanku tetapi saya harap tuanku menghargai ilmu supaya Allah menghargai tuanku.”
Khalifah bersetuju mengikut Malik ke rumah. Selepas duduk di kerusi khasnya, khalifah menegur kerana terdapat ramai orang lain di situ. Tetapi Malik membalas, “jika orang ramai tidak dibenarkan mendengar isi kitab ini, nescaya Allah tidak akan memberi rahmat kepada seorang pendengar pun.” Khalifah akhirnya bersetuju membenarkan orang lain mendengar sama.
Malik menyuruh pelajarnya Ma’an membaca al-Muwatta’, tetapi sebelum pelajar itu membuka mulut, Malik mencelah, “Para pencinta ilmu sangat menghargai ilmu. Tiada sesiapa akan duduk lebih tinggi daripada ilmu.” Mendengar sindiran itu, khalifah turun duduk di lantai bersama yang lain.
Antara sikap Malik, dia tidak pernah menolak hadiah yang diberikan kerana baginya ilmu pengetahuan memang wajar mendapat penghargaan, apatah lagi ilmu agama. Bagaimanapun banyak wang hadiah yang diberikan kepada pelajarnya. Hidupnya tidak mewah tetapi dia gemar berpakaian kemas kerana baginya pakaian yang kotor dan tidak senonoh akan menjatuhkan maruah ulama.
Malik pernah berdepan cabaran hebat pada masa pemerintahan Abu Jaafar al-Mansur, ketika anak saudara khalifah, Jaafar Sulaiman menjadi gabenor Madinah. Gabenor muda dan tidak berpengalaman itu kurang menghormati ulama, apatah lagi ketika itu terdapat ramai yang mendengki Malik kerana kedudukannya.
Termakan hasutan, Malik yang berusia 54 tahun ketika itu ditahan dan diseksa dengan 70 sebatan. Hukuman itu mencetuskan kemarahan orang Madinah, sangat membimbangkan khalifah di Baghdad, lantas Jaafar dipecat. Khalifah dengan rendah diri berjumpa Malik untuk meminta maaf dengannya. Hubungan baiknya dengan khalifahlah yang mendorongnya menulis al-Muawatta’ yang terkenal itu.
Malik kembali ke rahmatullah pada Rabiulawal 179 Hijrah, dalam usia 90 tahun selepas menghidap sakit tua selama 20 hari dan dikebumikan di Baqi. Dia meninggalkan seorang balu, tiga anak lelaki dan seorang anak perempuan. Hanya anak perempuan tunggalnya, Fatimah yang mewarisi ilmunya mendalami al-Muwatta’. Seumur hidupnya, Malik tidak pernah meninggalkan Madinah kecuali ketika menunaikan haji ke Mekah. Namun dia berjaya mengumpul ramai pelajar yang datang dari luar Madinah. Pelajarnya yang ramai inilah bertanggungjawab melebarkan Mazhab Maliki ke seluruh pelusuk dunia