Aman / Gilang48 / a.p

Makna hidup adalah mengenal Allah yang menciptakan, dengan mengenal Nya hati ini tiada henti-hentinya memuji dan tersenyum pada-Nya. Keindahan hidup adalah ketika kita melihat keindahan-Nya pada semua hal yang menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya. Dan jangan berputus asa dari rahmat Allah, teruslah mencoba dan mencoba, lebih baik pernah salah karena mencoba daripada tidak pernah salah karena sama sekali tidak pernah mencoba.

Jumat, 07 Oktober 2011

Smadav 2011 Rev. 8.7

Smadav 2011 Rev. 8.7 dirilis !!!

Smadav 2011 Rev. 8.7 : Penambahan database 100 virus baru, Teknik pendeteksian baru (FFD) : pencegahan total untuk virus dari USB Flashdisk, Fitur bahasa inggris sudah bisa digunakan di Smadav Free, Perubahan struktur settings, dsb.
Smadav 2011 Rev. 8.6 : Penambahan database 100 virus baru, Penyempurnaan fitur Smadav-Updater, Pendeteksian khusus untuk virus Ramnit, Sality, & OneLetter yang menyebar via USB Flash Disk, dsb.
Smadav 2011 Rev. 8.5 : Smadav-Updater, Fitur update database otomatis, Pendeteksian khusus untuk virus Ramnit.shortcut, Fitur baru : "Forgot Password" untuk Smadav Pro, Fitur baru : "Berita Terkini Smadav", dsb.
Smadav 2011 Rev. 8.4 : Pendeteksian khusus untuk beberapa virus shortcut terbaru (MSO-sys, fanny-bmp),penambahan database 40 virus baru, penyempurnaan deteksi semua varian virus shortcut, penambahan teknik heuristik, dsb.
Smadav 2010 Rev. 8.3 : Penambahan database 40 virus baru, pembersihan semua varian virus shortcut, dan banyak fitur baru lainnya..
Smadav 2010 Rev. 8.2 : Penambahan database 80 virus baru, perbaikan false alarm, penambahan teknik heuristik untuk varian virus penginfeksi exe, dan beberapa perbaikan bug lainnya
Smadav 2010 Rev. 8.1 : Penambahan database 100 virus baru, Smadav Virus Scanner Engine terbaru (SmadEngine.dll), dan sudah kompatibel penuh untuk Windows Vista & Windows 7.
Smadav 2011 Rev. 8 dirilis dengan berbagai fitur dan penyempurnaan baru yang dikhususkan untuk pemberantasan virus lokal. Fitur-fitur itu seperti Smad-Behavior yang bisa mengenali virus lokal baru yang belum ada di database Smadav dari tingkah lakunya ketika menginfeksi sistem. Smad-Ray yang bisa melakukan scan flashdisk secara otomatis setelah terpasang hanya dalam waktu maksimum 5 detik. Smadav 2011 lebih stabil dan sangat disarankan untuk digabungkan dengan antivirus internasional karena Smadav hanya bisa menangani virus lokal. Pengebalan flashdisk (menggunakan folder autorun.inf) telah disempurnakan lagi dan sebelumnya akan ada konfirmasi sehingga Anda bisa memutuskan apakah suatu flashdisk ingin dikebalkan atau tidak.
Sebagai informasi, dari sampel-sampel virus yang di-upload pengguna ke situs Smadav.net, penyebaran virus lokal saat ini sudah mulai turun drastis di Indonesia. Mungkin ini dikarenakan sudah banyaknya antivirus lokal yang bisa membasmi virus-virus lokal. Dan juga karena pengguna Windows XP yang sudah berkurang karena sebagian sudah meng-upgrade sistem operasinya menjadi Windows Vista atau Windows 7 yang sangat aman dari infeksi virus khususnya virus lokal. Penyebaran virus di Indonesia lebih banyak didominasi oleh virus dan malware internasional yang tentunya tidak bisa diatasi Smadav. Anda wajib dan sangat disarankan menggunakan antivirus internasional untuk perlindungkan komputer Anda dari virus dan malware internasional ini.
Baca Lebih Lanjut >>

Apa kelebihan Smadav Pro dibandingkan Smadav Free?

Smadav Pro mempunyai banyak fitur tambahan yang tidak ada di Smadav Free, berikut ini adalah fitur-fitur tambahan yang akan Anda dapatkan pada Smadav Pro : Update Otomatis Online, Scanning 10x Lebih Cepat, Exception List, Maximize/Resize, Mengganti Warna Tema, Bahasa Indonesia/Inggris, Password Admin, dan Izin Penggunaan Profit. Anda harus menjadi donatur untuk mendapatkan Smadav Pro.
[Klik disini] Untuk melihat penjelasan cara mendapatkan Smadav Pro >>

Kenapa Menggunakan Smadav 2011?

Smadav dibuat dengan tujuan untuk membersihkan dan melindungi komputer Anda dari virus-virus lokal yang banyak menyebar di Indonesia.. Kalau Anda sering berinternet atau sering meng-install program-program baru, Anda tetap sangat disarankan untuk menggabungkan Smadav dengan Antivirus Impor (misalnya yang gratis adalah Avira, AVG, atau Avast, dan yang berbayar adalah Kasperksy, Norton, atau NOD32). Smadav bisa bekerjasama dengan hampir semua antivirus impor sehingga komputer Anda benar-benar terlindungi dari infeksi virus lokal maupun virus asing (global). Saat ini Smadav 2011 sudah mengenali sebagian besar virus lokal yang menyebarluas di Indonesia. Inilah alasan-alasan kenapa menggunakan Smadav :
  • Teknologi SmaRTP, SmaRT-Protection
  • Teknologi Smad-Behavior
  • Teknologi Smad-Lock
  • Scanner pintar (Intelligence)
  • Cleaner Dokumen Terinfeksi
  • Pembersihan & perbaikan (1500 value) Registry
  • Update terbaru di setiap Revisi
  • Senjata Manual sangat mudah digunakan
  • Gratis
  • Portable dan support OS Windows 2000/XP/Vista/7
Baca lebih lanjut >>

Bagaimana Cara Update Smadav?

Mungkin masih banyak yang menanyakan ini. Anda harus men-download ulang file Smadav 2011 Revisi terbaru kemudian membuka program Smadav tersebut, nanti akan ada konfirmasi bahwa Smadav akan di-update. Smadav versi Free tidak mempunyai fitur update otomatis, untuk mendapatkan update otomatis lewat internet Anda harus menggunakan Smadav versi Pro. Jika menggunakan Smadav Pro, Anda tidak perlu lagi memikirkan update Smadav karena Smadav yang ada di komputer Anda akan otomatis terupdate setiap harinya. Smadav akan terus direvisi dalam periode paling cepat seminggu sekali, tergantung pada perkembangan virus di Indonesia. Anda dapat memperoleh berita & update langsung ke Facebook Anda dengan mendaftar terlebih dahulu di halaman facebook Smadav, klik disini untuk langsung mendaftar.

Dimana Meminta Bantuan, Memberi Kritik-Saran, atau Laporan Bug?

Smadav mempunyai 3 tempat untuk semua Smadaver (Pengguna Smadav) :
  • Forum Smadav (ForSmad)
    Smadaver sangat dianjurkan untuk mendaftar di Forum Smadav. Karena di forum ini Smadaver bisa bertanya dan berkonsultasi langsung ke beberapa anggota tim Smadav. Lebih dari itu, forum ini juga ditujukan untuk mempelajari seluk-beluk virus dan antivirus. Jadi, jika ingin mendapatkan jawaban cepat langsung saja kirimkan posting di forum ini.
  • Blog Programmer Smadav
    Blog ini berisi tentang semua informasi perkembangan Smadav terbaru dan perkembangan virus-virus di Indonesia.
  • Facebook Smadav
    Jika Smadaver ingin mendapatkan informasi update Smadav langsung ke Facebooknya, bergabung saja di halaman Facebook Smadav ini. Disana Smadaver juga bisa menyampaikan kritik-saran atau laporan bug atau mungkin ucapan terima kasih :P

Bagaimana Mendukung Pengembangan Smadav?

  • Donasi/Sumbangan
    Dengan mengirimkan Donasi, Anda akan mendapatkan Registration Key yang bisa digunakan untuk meregistrasi Smadav Pro sehingga Anda bisa menggunakan fitur tambahan untuk versi Pro. Dan juga Anda dapat membantu pengembangan Smadav Antivirus buatan Indonesia untuk terus melindungi dan mengatasi virus-virus lokal yang banyak menyebar di Indonesia.
    Baca lebih lanjut cara & keuntungan donasi >>
  • Laporkan bug atau kirim kritik-saran
    Tidak ada software yang sempurna, Smadav terus memerlukan penyempurnaan dan ini hanya bisa dilakukan jika kekurangannya diketahui. Jadi Smadaver sebaiknya mengirim kritik-saran atau laporan bug jika ditemukan, kirim langsung ke e-mail Programmer : smadav@gmail.com. Semua laporan akan diteliti untuk perbaikan Smadav revisi berikutnya.
  • Upload sampel virus di Folder Virus Smadav
Website design modified bygilang48

Selasa, 04 Oktober 2011

Puisi-puisi sufi Syekh Hamzah Fansuru

Judul-judul puisinya aneh-aneh, itulah awal ketertarikan saya pada tokoh satu ini. Diantaranya ialah seperti di bawah ini:

Syair Burung Pingai
Syair Dagang
Syair Pungguk
Syair Sidang Faqir
Syair Ikan Tongkol
Syair Perahu

Sebenarnya mengenai tokoh satu ini, dalam buku Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya yang disusun oleh Hawash Abdullah, dikatakan hampir semua penulis Islam mencatat bahwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muritnya Syeikh Syamsuddin Sumatrani adalah termasuk tokoh sufi yang sefaham dengan Al-Hallaj. Faham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain adalah seirama. Syeikh Hamzah Fansuri diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang sangat populer pada zamannya, sehingga kini, namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusastraan Melayu dan Indonesia (hal 35).

Rujukan lain terhadap tokoh ini juga saya temukan pada buku Islam Borjuis dan Islam Proletar karya Nur Kholiq Ridwan. Disana juga disebutkan bahwa Hamzah Fansuri dikenal sebagai tokoh sufi yang menghubungkan konsepsi-konsepsinya kepada Ibnu Arabi dan Al-Hallaj. Tokoh-tokoh ini disebutkan sebagai tokoh sufi yang beraliran wihdatul wujud. Islam yang bercorak sufisme Ibnu Arabi ini memperoleh pengikut yang cukup besar, dan telah melahirkan banyak generasi di Aceh, Sumatra dan Jawa sendiri, karena murit-murit Fansuri sangat banyak, sebelum pada akhirnya pengikut dan ajarannya dibumihanguskan oleh Al-Raniri dan penguasa kerajaan Aceh, seperti yang dialami oleh Al-Hallaj dan Ibnu Arabi (hal 47).
Lebih jauh diterangkan juga dalam buku ini jika tampak sekali bahwa kecendrungan sufisme Fansuri yang Ibnu Arabian dan Al-Hallajian itu menegaskan widhatul wujud. Ideologi yang Ibnu Arabian ini diikuti oleh banyak muritnya, dan corak ‘Arabian itu pernah menjadi mazhab resmi kerajaan Islam Aceh sebelum Al-Raniri datang ke Aceh. Murid-muridnya banyak yang datang bukan hanya dari Aceh, tetapi juga dari Jawa, Sumatra dan dan banyak lagi dari semenanjung Melayu, adalah sangat mungkin pasca pembakaran ajaran-ajaran Fansuri di Aceh, murit-muritnya banyak yang melakukan eksodus ke daerah-daerah yang lebih aman. Bahkan Fansuri sendiri eksodus ke Sumatera dan mengembangkan ajaran-ajarannya sebelum akhirnya meninggal (hal 51).

Kembali ke buku Perkembangan tasawuf dan tokoh-tokohnya, disebutkan karya-karya Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana, baik para sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana setempat. Yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh shufi ini. Tidak ketinggalan seumpama Prof. A. Teeuw. Juga R.O. Windstedt yang diakuinya bahwa Hamzah Fansuri mempunyai semangat luar biasa yang tak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib Al Attas mempelajari biografi Hamzah Fansuri secara mendalam mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Laiden dan Universitas London (hal37).

Berikut adalah petikan syair yang diambil dari buku Islam Borjuis - Islam Proletar (pada cacatan kaki dikatakan bahwa kutipan didapat dari buku tasawuf yang tertindas…, hlm 351-409, diterjemahkan dan dilampirkan oleh Abdul Hadi WM):

Sabda Rasul Allah Nabi kamu
Lima’a Allahi sekali waktu
Hamba dan Tuhan menjadi Satu
Inilah ‘arif bernama tahu

Kata Bayazid terlalu ‘ali
Subhani ma a’zama sya’ni
Inilah ilmu sempurna fani
Jadi senama dengan Hayyu al-Baqi

Kata Mansur penghulu ‘Asyiq
Ia itu juga empunya natiq
Kata siapa ia la’iq
Mengatakan diri akulah khaliq

Dengarkan olehmu hai orang yang kamil
Jangan menunut ilmu yang batil
Tiada bermanfaat kata yang jahil
Ana al-Haq Manshur itulah washil

Hamzah Fansuri terlalu karam
Ke dalam laut yang maha dalam
Berhenti angin ombaknya padam
Menjadi sultan pada kedua alam


Beberapa syairnya yang lain:

Campurkan yang empat alam
Hancurkan di laut dalam
Syariat nabi yang khatam
Kerjakan da’im siang dan malam

Aho segala kita yang membawa iman
Jangan berwaqtu mengkaji qur’an
Halal dan haram terlalu bayan
Jalan kepada Tuhan dalam ‘iyan

Qur’an itu ambilkan dalil
Pada mizan Allah supaya tsaqil
Jika kaum ambil syariat akan wakil
Pada kedua alam engkaulah jamil

Kerjakan shalat lagi dan sha’im
Itulah makna bernama qa’im
Pada segala malam kurangkan na’im
Menjadkani alam kerjakan da’im

Saya juga dapati syair-syair syeikh Hamzah Al Fansuri ini di situs Malaysia, penyair.wordpress.com. Ya udah, bagaimanapun itu, karena karya Fansuri termasuk khazanah kekayaan sastra Indonesia, saya pindahin aja puisi-puisinya ke blog ini dengan tanpa rasa bersalah.
Inilah diantara syair-syairnya:

Petikan Syair Dagang


Hai sekalian kita yang kurang
nafsumu itu lawan berperang
jangan hendak lebih baiklah kurang
janganlah sama dengan orang

Amati-amati membuang diri
menjadi dagang segenap diri
baik-baik engkau fikiri
supaya dapat emas sendiri

~Hamzah Fansuri




Syair si Burung Pingai


Hamzah sesat di dalam hutan
pergi uzlat berbulan-bulan
akan kiblatnya picek dan jawadan
inilah lambat mendapat Tuhan

Unggas pingai bukannya balam
berbunyi siang dan malam
katanya akal ahl al-alam
Hamzah Fansuri sudahlah kalam

Tuhan hamba yang punya alam
timbulkan Hamzah yang kalam
ishkinya jangankan padam
supaya warit di laut dalam

~ Hamzah Fansuri




Syair Perahu

Inilah gerangan suatu madah
mengarangkan syair terlalu indah,
membetuli jalan tempat berpindah,
di sanalah i’tikat diperbetuli sudah

Wahai muda kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu.

Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.

Perteguh jua alat perahumu,
hasilkan bekal air dan kayu,
dayung pengayuh taruh di situ,
supaya laju perahumu itu

Sudahlah hasil kayu dan ayar,
angkatlah pula sauh dan layar,
pada beras bekal jantanlah taksir,
niscaya sempurna jalan yang kabir.

Perteguh jua alat perahumu,
muaranya sempit tempatmu lalu,
banyaklah di sana ikan dan hiu,
menanti perahumu lalu dari situ.

Muaranya dalam, ikanpun banyak,
di sanalah perahu karam dan rusak,
karangnya tajam seperti tombak
ke atas pasir kamu tersesak.

Ketahui olehmu hai anak dagang
riaknya rencam ombaknya karang
ikanpun banyak datang menyarang
hendak membawa ke tengah sawang.

Muaranya itu terlalu sempit,
di manakan lalu sampan dan rakit
jikalau ada pedoman dikapit,
sempurnalah jalan terlalu ba’id.

Baiklah perahu engkau perteguh,
hasilkan pendapat dengan tali sauh,
anginnya keras ombaknya cabuh,
pulaunya jauh tempat berlabuh.

Lengkapkan pendarat dan tali sauh,
derasmu banyak bertemu musuh,
selebu rencam ombaknya cabuh,
La ilaha illallahu akan tali yang teguh.

Barang siapa bergantung di situ,
teduhlah selebu yang rencam itu
pedoman betuli perahumu laju,
selamat engkau ke pulau itu.

La ilaha illallahu jua yang engkau ikut,
di laut keras dan topan ribut,
hiu dan paus di belakang menurut,
pertetaplah kemudi jangan terkejut.

Laut Silan terlalu dalam,
di sanalah perahu rusak dan karam,
sungguhpun banyak di sana menyelam,
larang mendapat permata nilam.

Laut Silan wahid al kahhar,
riaknya rencam ombaknya besar,
anginnya songsongan membelok sengkar
perbaik kemudi jangan berkisar.

Itulah laut yang maha indah,
ke sanalah kita semuanya berpindah,
hasilkan bekal kayu dan juadah
selamatlah engkau sempurna musyahadah.

Silan itu ombaknya kisah,
banyaklah akan ke sana berpindah,
topan dan ribut terlalu ‘azamah,
perbetuli pedoman jangan berubah.

Laut Kulzum terlalu dalam,
ombaknya muhit pada sekalian alam
banyaklah di sana rusak dan karam,
perbaiki na’am, siang dan malam.

Ingati sungguh siang dan malam,
lautnya deras bertambah dalam,
anginpun keras, ombaknya rencam,
ingati perahu jangan tenggelam.

Jikalau engkau ingati sungguh,
angin yang keras menjadi teduh
tambahan selalu tetap yang cabuh
selamat engkau ke pulau itu berlabuh.

Sampailah ahad dengan masanya,
datanglah angin dengan paksanya,
belajar perahu sidang budimannya,
berlayar itu dengan kelengkapannya.

Wujud Allah nama perahunya,
ilmu Allah akan [dayungnya]
iman Allah nama kemudinya,
“yakin akan Allah” nama pawangnya.

“Taharat dan istinja’” nama lantainya,
“kufur dan masiat” air ruangnya,
tawakkul akan Allah jurubatunya
tauhid itu akan sauhnya.

Salat akan nabi tali bubutannya,
istigfar Allah akan layarnya,
“Allahu Akbar” nama anginnya,
subhan Allah akan lajunya.

“Wallahu a’lam” nama rantaunya,
“iradat Allah” nama bandarnya,
“kudrat Allah” nama labuhannya,
“surga jannat an naim nama negerinya.

Karangan ini suatu madah,
mengarangkan syair tempat berpindah,
di dalam dunia janganlah tam’ah,
di dalam kubur berkhalwat sudah.

Kenali dirimu di dalam kubur,
badan seorang hanya tersungkur
dengan siapa lawan bertutur?
di balik papan badan terhancur.

Di dalam dunia banyaklah mamang,
ke akhirat jua tempatmu pulang,
janganlah disusahi emas dan uang,
itulah membawa badan terbuang.

Tuntuti ilmu jangan kepalang,
di dalam kubur terbaring seorang,
Munkar wa Nakir ke sana datang,
menanyakan jikalau ada engkau sembahyang.

Tongkatnya lekat tiada terhisab,
badanmu remuk siksa dan azab,
akalmu itu hilang dan lenyap,
(baris ini tidak terbaca)

Munkar wa Nakir bukan kepalang,
suaranya merdu bertambah garang,
tongkatnya besar terlalu panjang,
cabuknya banyak tiada terbilang.

Kenali dirimu, hai anak dagang!
di balik papan tidur telentang,
kelam dan dingin bukan kepalang,
dengan siapa lawan berbincang?

La ilaha illallahu itulah firman,
Tuhan itulah pergantungan alam sekalian,
iman tersurat pada hati insap,
siang dan malam jangan dilalaikan.

La ilaha illallahu itu terlalu nyata,
tauhid ma’rifat semata-mata,
memandang yang gaib semuanya rata,
lenyapkan ke sana sekalian kita.

La ilaha illallahu itu janganlah kaupermudah-mudah,
sekalian makhluk ke sana berpindah,
da’im dan ka’im jangan berubah,
khalak di sana dengan La ilaha illallahu.

La ilaha illallahu itu jangan kaulalaikan,
siang dan malam jangan kau sunyikan,
selama hidup juga engkau pakaikan,
Allah dan rasul juga yang menyampaikan.

La ilaha illallahu itu kata yang teguh,
memadamkan cahaya sekalian rusuh,
jin dan syaitan sekalian musuh,
hendak membawa dia bersungguh-sungguh.

La ilaha illallahu itu kesudahan kata,
tauhid ma’rifat semata-mata.
hapuskan hendak sekalian perkara,
hamba dan Tuhan tiada berbeda.

La ilaha illallahu itu tempat mengintai,
medan yang kadim tempat berdamai,
wujud Allah terlalu bitai,
siang dan malam jangan bercerai.

La ilaha illallahu itu tempat musyahadah,
menyatakan tauhid jangan berubah,
sempurnalah jalan iman yang mudah,
pertemuan Tuhan terlalu susah.

~ Hamzah Fansuri



Benar-benar syair dengan rima dan struktur yang sempurna. Mengenai makna, saya kira anda setuju kalo ini benar-benar syair-syair sufistik.

Pemikiran sufistik (Nur Muhammad) syekh Hamzah fansuri

Tulisan ini merupakan kajian tehadap naskah Hikayat Nur Muhammad yang penulis dapatkan dari Koleksi Naskah Musium Pusat Jakarta dengan kode Ml.378C. Hikayat Nur Muhammad adalah sebuah hikayat yang menceritakan tentang Nur Muhammad sebagai awal penciptaan semesta. Ide ini didasari oleh ajaran yang dilontarkan oleh Ibnu Araby, seorang ahli sufi falsafi wachdatul wujud. Ide Araby itu dituangkan di dalam buku karyanya Fushushul-Hikam. Namun sebelum karya besarnya itu lahir, gagasan adanya Nur Muhammad itu dituangkan di dalam risalah kecilnya yang berjudul Syajarat al-Kaun. Ide awal paham Nur Muhammad ini adalah dari seorang tokoh sufi kontroversial Al Challaj. Ide Nur Muhammad ini merupakan untaian dari tiga ajaran utamanya yaitu chulul dan wachdatl adyan. Menurutnya Nur Muhammad merupakan jalan hidayah (petunjuk) dari semua Nabi. Karena itu agama yang dibawa oleh para Nabi pada prinsipnya sama apalagi dalam keyakinan al-Challaj, semua Nabi merupakan emanasi wujud sebagaimana terumus dalam teori chulul-nya.
               Teori Nur Muhammad ini kemudian diteruskan oleh Ibnu Araby (638H/240M) dalam karyanya al-Futuhat al-Makiyyah,  dan Fusush al-Hikam. Bagi Ibnu Arabi, Nur Muhamad merupakan asal-usul kejadian semua makhluk yang hidup dan sumber yang terpancar daripada ilmu para Nabi dan wali. Dengan kata lain Nur Muhamad ialah roh yang nyata dengan rupa para Nabi dan wali sejak Nabi Adam a.s. diutus hingga Nabi Muhamad s.a.w. dan sejak wujud Martabat al-Wilayah atau kenabian dalam pemikiran Sufi. Ilmu para nabi dan wali adalah suatu pancaran dari Nur Muhamad yang merupakan induk kepada segala yang wujud ini.
               Ide ini akhirnya disistemasikan dan ditegaskan oleh Abdul  Karim al-Jili (832H) dalam kitabnya al-Insan al-Kamil fi Ma'arifah al-awa'il wa al-Awakhir. Dia menghubungkan dengan konsep manusia sempurna (insan kamil). Ide ini akhirnya masuk dan meluas di kalangan sufi Melayu sejalan dengan masuknya agama Islam ke nusantara.
1. Peranan Ahli Tasawuf dalam Masuk dan Berkembangnya Agama Islam ke Nusantara
Timbulnya gagasan Nur Muhammad di dalam kesusastraan Melayu ini tak bisa dilepaskan dengan masuknya Agama Islam ke Nusantara (Melayu ). Seminar Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia di Aceh pada tanggal 10-16 Juli 1978 menegaskan hasil Seminar Sejarah Islam di Medan tahun 1963 bahwa Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad I Hijriah yang langsung dibawa dari tanah Arab, dan daerah yang pertama kali menerima adalah Aceh (Hasymy: 1989:band . Daudy,1983: 24; bandingkan juga mis. Arnold,1985:317).
Kerajaan Islam yang pertama kali berdiri adalah Perlak pada tahun 225 H (abad ke-9 M). Agama Islam yang masuk ke Indonesia pada awal-awal itu masih asli, karena langsung dari Arab.Snouck Horgronje mengatakan bahwa watak Islam pada zaman Nabi adalah seperti anak muda yang penuh dengan vitalitas dan kemauan dan hanya dibekali oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dalam suatu lingkungan yang terbatas. Pada zaman Khalifah, watak Islam ibarat orang dewasa malahan sudah orang tua (Abdul Gani dalam Hasymy ed. , 1989:112). Maka boleh jadi yang masuk adalah pengaruh yang aneh maka biasanya akan menjadi tonggak yang akan dikenang orang.
Akibat perkenalannya dengan pemikiran-pemikiran Yunani, sehubungan dengan semakin besar dan jayanya Islam pada abad ketiga Hijriyah dan kemudian diadakan penerjemah besar-besaran terhadap buku-buku hasil pemikiran dan pengetahuan Yunani yang dikenal sudah tinggi khususnya pemikiran filsafat, maka mulailah ajaran Islam kemasukan faham filsafat. Di samping itu semakin meluasnya Islam ke beberapa kerajaan yang besar dan sudah maju ilmu pengetahuan serta kebudayaanya semacam Persia, maka Islam sudah berakulturasi dengan budaya setempat sehingga lahir pemikiran tempatan yang ‘disesuaikan’ dengan Islam.
Sebagaimana yang dikatakan di atas bahwa Acehlah yang pertama mula menerima Islam karena memang sejak abad ke 1-6 M Aceh telah memainkan peranan penting dalam perdagangan maritim internasional (Daudy ,1983:90). Setelah agama Islam masuk di pulau Sumatra, peranan Aceh dalam perdagangan semakin menonjol , terutama setelah lahirnya kerajaan Pasai pada abad ke-13 M (ibid : 10-11). Pada abad ke-16 M, kerajaan Aceh Darussalam muncul sebagai suatu negara yang kuat dan berkedaulatan di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah (Daudy, 1983:16). Kerajaan Aceh mencapai puncak keemasan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (wafat 1636 M). Peranan ahli sufi semakin menonjol dalam penyebaran agama Islam di kawasan Asia Tenggara setelah Baghdad jatuh ke tangan orang Mongol pada tahun 1258 M. Mereka bukan saja terdiri dari orang-orang Arab tetapi juga orang-orang Persi dan India (Daudy, 1983 :26) yang kedatangan mereka itu disambut dengan sangat baik oleh berbagai kerajaan.
Sejak jaman Sultan Malik al-Zahir (wafat 1326 M) Pasai telah menjadi pusat studi dan dakwah Islam. Di istana sering berkumpul para ulama besar Persia, India, Arab, dll. untuk berdikusi masalah-masalah agama antara lain masalah esoterik, pemikiran-pemikiran filsafat juga mistik. Selain itu juga menjadi pusat pengiriman mubalig ke berbagai tempat seperti di Jawa, Malaka, Patani, dll.( Daudy, 1983:27-29). Hubungan dengan India sangat erat sehingga istilah agama seperti gelar Makhdum yang dipergunakan di India untuk guru-guru dan ulama juga digunakan di Pasai.
Sifat kehidupan agama dalam kerajaan Pasai pada abad ke-14 -15 sangat didominir oleh ajaran mistik. Diduga ajaran tarikat sufi juga telah berkembang dalam jaman itu. Itulah yang merupakan faktor yang sangat menentukan jalannya kehidupan dan pemikiran keagamaan dalam kerajaan Aceh Darussalam yang lahir kemudian sekitar abad ke-16 (Daudy, 1983: 30). Aceh kedatangan sufi-sufi dari berbagai negara yang secara langsung menciptakan iklim kehidupan mistik dan melahirkan pemikiran terhadap masalah-masalah keagamaan,juga buku-buku tasawuf yang penting karya Abdul Karim al-Jilli (Insanul-Kalim fil-Ma’rifatil-awakhir wal-awa’il), Ibnu Arabi (Fusushul-Hikam, Futuhatul-Makiyyah), Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri (at-Tuhfatul-Mursalah ila Ruhin- Nabi). Keempat kitab itu sangat memainkan peranan pentingnya dalam perkembangan pemikiran agama terutama tentang filsafat mistik wachdatul wujud / pantheisme yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani yang dikenal dengan ajaran wujudiyyah dan teori martabat tujuh. Akhirnya ajaran mistik Islam ini sangat mendominansi Aceh.
Orientasi kehidupan keagamaan yang lebih berciri kepada ajaran mistik telah memberikan peluang luas bagi ahli-ahli sufi. Mereka dijadikan menjadi penasehat dan mufti (Daudy, 1983:22-23), walaupun ia sangat menyimpang dari ajaran resmi yang diakui dan dihayati kalangan istana dan umum. Contohnya adalah Syamsuddin as-‘Sumatrani. Dia adalah seorang tokoh yang tasawuf wujudiyyah yang telah memperoleh kedudukan tinggi sebagai orang kedua dalam kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Selain berkedudukan sebagai mufti dengan gelar Syeikhul-Islam, dia juga sering dipercaya Sultan dalam urusan-urusan kenegaraan. Dengan kedudukannya, menjadikan nya sebagai tokoh mistik yang dihormati dan disegani (Daudy,1984:33-34). Contoh lain misalnya Syeikh Nuruddin Arraniry yang datang ke Aceh sebelum 1637 M dan yang untuk kedua kalinya (1637 M) diberi kesempatan oleh Sultan Iskandar Tsani sebagai mufti. Dialah yang menyanggah ajaran wujudiyyah-nya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin.
Kalau kita mau meneliti secara jujur, maka kita akan berkesimpulan bahwa di tahun-tahun pertama masuknya Islam ke Nusantara jasa terbesar adalah dari golongan sufi. Hampir semua daerah yang pertama kali memeluk Islam bersedia menukar kepercayaan asalnya dari dinamisme, animisme, maupun Budhisme dan Hinduisme yang saat itu sudah menyebar, ini menunjukan keahlian tokoh-tokoh sufi dalam menyusun sistem dan metode penyebaran yang dengan cara-cara khas mereka (Abdullah,1980:15). Penyebaran islam ke Kelatan dan Kedah misalnya, dilakukan oleh ulama sufi yang bernama Syeikh Abdullah. Di Patani, penyebaran Islam dilakukan oleh tiga ulama Sufi yaitu Syeikh Shafiyuddin, Syeikh Said Barsisa dan Syeikh Gombak Abdul Mubin (Abdulah,1980: 15-20). Penyebaran Islam di Jawa dilakukan oleh para wali yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Para wali tersebut termasuk juga para ahli tasawuf (sufi).
Pengaruh tasawuf di dalam kehidupan kerajaan Aceh semakin jaya terutama semasa berkuasanya Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah (1606/1607-1636). Pada masa itu banyak ulama-ulama intelek yang berdomosili di Aceh. Pertama, secara geografis, kerajaan Aceh sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara. Kedua, sultan Aceh yang bernama Iskandar Muda Mahkota Alam Syah sangat mencintai Islam, alim ulama,dan ilmu pengetahuan, yang semua itu didukung oleh rakyatnya. Sementara itu pada masa dahulu orang Islam memang termasuk orang yang ahli dalam berdagang. Namun, bagi mereka, berdagang bukanlah menjadi tujuan pokok, tetapi hanya sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam (Abddulah,1990:30).
Pada saat itu sebagaimana dikatakan di depan, ulama-ulama yang menganut faham mistik sangat mendapat tempat yang paling utama. Dari Makkah telah datang Al Alim Allamah Syeikh Abdul Khair dan Al-Alim Allamah Syeikh Muhammad Al-Yamin pada sekitar tahun 990H/1582 M (Zainuddin,tt:252). Keduanya adalah tokoh sufi yang sealiran dengan ulama Hidustan seperti Syeikh Syaifur-Rijal. Faham kedua tokoh dari Mekkah tadi disokong olah Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani. Selain itu Syeikh Fadhlullah al-Burhanpuri yang menulis kitab memperkuat sokongannya terhadap dua Syeikh dari Arab tadi. Kitab Tuhfatul-Mursala tersebut menjadi pegangan kuat kaum sufi yang menganut ajaran martabat tujuh yang kemudian disimpulkan di dalam ajaran wachdatul wujud (Abddulah, 1980: 32).
Alam fikiran sufi yang mempunyai pengaruh luas dan bercorak pantheistik terutama jelas sekali di kalangan ahli-ahli fikir Sumatra Utara semenjak abad ke-16 dan permulaan abad ke-17 Masehi. Ada dua orang di antara tokoh-tokoh sufi itu yang sangat menarik untuk dibicarakan sehubungan dengan aliran pantheistik ini yaitu Syech Hamzah Fanshuri dan Syech Syamsuddin Sumatrani. Beliau berdua sangat terpengaruh oleh alam fikiran Ibnu Araby yang terkenal dengan ajaran wachdatul-wujudnya yang oleh penentangnya (misalnya Syeikh Nuruddin ar-Raniry) disebut wujudiyah. Ajaran lain yang terkenal dari beliau yang juga mempengaruhi pemikiran tasawuf di Sumatera ini adalah ajaran tentang al-chaqiqatul muchammadiyah/ nur muhammad.
Di sini akan penulis paparkan bagaimana pandangan Syeikh Hamzah Fansuri dalam proses terciptanya alam semesta yang ada kaitannya dengan faham Nur Muhammad.
2. Gagasan Nur Muhammad di dalam Karya Hamzah Fansuri
Nama Hamzah Fansuri di lapangan penyelidikan sastra Indonesia dan para ulama sangat terkenal. Para ahli hampir semuanya mencatat bahwa dia bersama muridnya Syamsuddin, adalah tokoh yang sefaham dengan sufi ekstrem Al-Challaj dengan faham hulul, al-chaqiqatul-muhammadiyah dan wahdatul adyan. Hal yang selalu disanggah oleh orang atas diri Hamzah adalah karena faham wachdatul-wujud, hulul, dan ittihad. Orang sering menuduhnya sebagai orang yang zindik, syirik, kafir, sesat dan sebagainya. Ada orang yang menuduh beliau adalah pengikut faham Syi’ah. Ada pula orang yang mempercayai bahwa dia itu bermazhab Syafi’i di dalam fiqih, sedang dalam tasawuf Hamzah mengikut tarikat Qadiriyah (Abdullah,1980 :36-37).
Beberapa kitab karyanya antara lain: Asrar al-Arifin fi Bayanil-Ilmis-‘Suluki wat-‘Tawhid, Syarbul Asyiqin, Zinatul-Muwahiddin, dan Ruba’i Hamzah Fansuri. Karya prosanya ini banyak mengingatkan kepada karya Ibnu Araby (Hadiwijono,tt:14-15). Di lapangan sastra, khususnya syair, Hamzah telah menulis antara lain :
1. Syair Burung Pingai,
2. Syair Dagang,
3. Syair Pungguk,
4. Syair Sidang Faqir,
5. Syair Ikan Tongkol, dan
6. Syair Perahu (Abdullah,1980:37)
Karya-karya syairnya menunjukan bahwa dia sangat mengenal tasawuf Persia yang bersifat erotis (Hadiwijono,tt:15).
Menurut Hamzah, Allah adalah suatu zat yang Mutlak yang mendahului segala sesuatu sebagaimana dikemukakannya di dalam Asrar Arifin.
“ketika bumi dan langit belum ada, arasy dan kursyi belum ada, surga dan neraka belum ada, alam sekalian belum ada, apa yang pertama? Yang pertama ialah Zat, yang ada pada dirinya, tiada sifat dan tiada nama. Itulah yang pertama. (hal.5)
Selanjutnya dikatakan bahwa Zat Allah itu tak bisa diibaratkan, tak bisa diuraikan dengan ibarat, sebab tak ada ibarat yang bisa dipakai untuk mengurai keadaan Allah. Pada-Nya tiada atas atau bawah, tak ada dahulu atau kemudian, tak ada kanan atau kiri dan seterusnya (Asrar hal 8). Allah adalah Zat yang Mutlak yang diibaratkan sebagai laut yang tiada berkesudahan (Asrar hal. 30). Di dalam beberapa syairnya, laut itu disebutnya sebagai Laut Batiniyyah (Bahrul-Butun), laut yang dalam (Bahrul-amiq) dan laut yang mulia (Bahrul-‘ulyan) (Hadiwijono,tt:26).
Hakekat sebenarnya dari Zat Allah itu tanpa pembeda-bedaan (la ta’ayyun).Hamzah mengambarkan cara Zat Mutlak itu menjelma (tanazzul) seperti laut (Zinatul-Muwahiddin hal 15) Penjelmaan atau pengaliran ke luar itu terjadi dalam beberapa pangkat atau mertabat yaitu : (1) pangkat laut yang bergerak di dalamnya segala sesuatu tersimpan, (2) pangkat ombak,di dalamnya terjadi peninjauan Zat atas diri-Nya sendiri (3) pangkat asap dan awan, di dalamnya realitas yang terpendam berada sebagai satu kesatuan yang kemudian membagi-bagi diri untuk kemudian mengalir ke luar ke dalam dunia gejala /fenomena ini, (4) pangkat hujan, di dalamnya realitas yang terpendam itu keluar atas perintah ilahi “ fa yakun”, serta (5) pangkat sungai,yaitu gambaran dunia yang kongkrit ini. Lebih jauh Hamzah mengatakan dalam Zinatul –Muwahidin :
Adapun ta’ayyun awwal itu ditamsilkan oleh ahli suluk seperti laut. Apabila laut timbul maka ombak namanya, yakni apabila alim memandang dirinya, maklum jadi pada dirinya; Apabila laut itu melepas jadi nyawa, asap namanya, yakni nyawa ruh idlafi kepada namanya, yakni ruh idhafi dengan a’yan tsabitah keluar dengan qaul (kun fa yakun) berbagai-bagai. Apabila hujan itu jatuh ke bumi, sungai namanya, yakni setelah ruh idhafi dengan isti’dad asli dengan a’yan tsabitah hilir di bawah kun fa yakun sungai namanya. Apabila sungai itu pulang ke laut,laut hukumnya. Tetapi laut itu maha suci tiada berlebih dan tiada berkurang . Jika keluar sekalian itu tiada ia kurang, jika masuk pun sekalian itu tiada ia kurang lebih, karena ia suci dari pada segala suci (hal.15)
Tahap-tahap pengaliran/ martabat itu diistilahkan dengan achadiyah, wachdah, wachidiyyah. Pangkat achadyiah disebut juga pangkat la-ta’ayyun (tanpa pembeda-beda). Wachda digambarkan sebagai gerak ombak. Pangkat ini disebutnya sebagai ta’ayyun awwal (pembedaan pertama). Pada pangkat ini terjadi empat pembedaan yaitu :pengetahuan (ilm), eksistensi (wujud), pengamatan (syuhud), dan cahaya (nur). Pada pembedaan pertama ini Zat Allah menjadi sadar akan diri-Nya sendiri serta memiliki pengetahuan tentang segala daya yang terpendam pada diri-Nya sebagai kesatuan. Di sini berarti bahwa Zat Allah tahu bahwa diri-Nya sendiri yang ada, tiada yang lain kecuali Dia. Ia tahu bahwa Ia memiliki daya untuk menjelmakan Diri-Nya (Hadwijono,tt:30-32).
Tingkatan wachda ini disebut juga ”cahaya Muhammad” (Nur Muhammad) atau “realitas Muhammad” (Chaqiqatul-Muhammadiyah). Dikatakannya di dalam Syarabul-Asyikin :
“Taayyun awaal wujud yang jama’i, pertama di sana nyata. Ruh idlafi, semesta alam sana lagi ijmali, itulah bernama chaqiqat Muchammad nabi (hal.14).
Di tempat lain dikatakan :
Wachdat itulah yang bernama “kamal zati”. Menyatakan sana ruh Muhammad an- nabi, tatkala itu bernama “ruh idlafi”(hal.52)
Di dalam Asrar Arifin dia mengatakan :
“. . .’ilm yang melihat maklumat itu, chaqiqat Muchammad saw. Antara ‘alim dan ma’lum itulah asal cahaya Muhammad pertama-tama bercerai dari pada Zat.
Adapun pada suatu ibarat,itulah bernama “ruh idhafi”, yakni nyawa bercampur ;dan pada saat ibarat : “aqlul-kulli” namanya[yakni] perhimpunan segala budi. Dan pada suatu ibarat “nur” namanya, yakni cahaya; pada suatu ibarat ”kalamul-a’la” namanya, yakni kalam yang maha tinggi; dan pada suatu ibarat “lauch” namanya, yakni papan tempat menyurat; karena itulah maka sabda Rasullulah: ”awwalu maa khalaqa- Allaahu ta’aala ar-‘Ruah, awwalu maa khalaqa- Allaahu ta’aala an-Nuur, awwalu maa khalaqa Allaahu ta’aala al-‘aql; awwalu maa khalaqa Allaahu ta’aala al-qalam”(hal.19)
Di sini dijelaskan bagaimana kedudukan Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah pengetahuan(‘ilm) yang melihat kepada ma’lum atau ide. Tempatnya berasal di antara yang mengenal dan yang dikenal (antara Zat yang Mutlak dan dunia). Oleh karena itu pada bagian lain disebutkan bahwa Nur Muhammad bersinar dari Zat Allah (Syarabul Asyikin hal. 97) dan bahwa seluruh alam semesta dijadikan dari pada cahaya Muhammad. Sebaliknya Nur Muhammad dijadikan dari pada Zat Allah dan bahwa seandainya tiada cahaya Muhammad, maka alam semesta ini tidak akan ada (Asrarul-Arifin hal.20)
Pada pangkat wachda ini peranannya dalam penjelmaan akali sangat penting. Sebagaimana diketahui bahwa penjelmaan ada dua yaitu penjelmaan yang terjadi dalam diri Zat yang Mutlak yang sifatnya akali dan penjelmaan yang terjadi di luar Zat yang Mutlak, sifatnya bisa dilihat. Hubungan keduanya itu sama dengan hubungan antara perwujudan dan gambar yang dipantulkan, atau sebagai lahir dan batin, sedemikian rupa sehingga Zat yang Mutlak itu tampak di dalam dunia gejala. Wachda adalah cermin yang memantulkan gambar dari yang Mutlak atau bayang Yang Mutlak. Wachda adalah pangkat penilikan diri dari Zat yang Mutlak, yang dengannya Yang Mutlak mengenal diri-Nya dan kemudian seolah-olah Yang Mutlak bangkit dari lamunan-Nya. Wachda adalah logos. Ia disebut juga “nur Muhammad” (Hadiwijono,tt:47).
Pangkat selanjutnya adalah wachidiyya yang disebut juga pembeda-bedaan kedua (ta’ayyun tsani). Pada pangkat ini realitas Muhammad pada ta’ayyun awwal menimbulkan manusia atau chaqiqat insan.
Ketiga pangkat penjelmaan, achadiyah, wachda, wachidiyya, semuanya terjadi dalam satu eksistensi Ilahi. Maka ketiganya disebut sebagai “Maratib-ilahi” (Hadiwijono,tt:42)
Penjelmaan selanjutnya dikatakan Hamzah:
“Apabila awan itu titik udara,hujan namanya; yakni ruh idhafi dengan a’yan tsabitah keluar dari qaul kun fa yakun, berbagai-bagai (Zinatul-Muwahidin hal.15).
Di bagian lain (Syarabul-Asyikin hal 52-53) Hamzah menyebutkan adanya pembeda-bedaan ketiga (ta’ayyun tsalis) yang dinamai pula a’yan kharija (realitas yang keluar). Pengertian a’yan kharija menunjukkan bahwa penjelmaan ini dan penjelmaan berikutnya terjadi di luar Zat yang Mutlak, yaitu di dalam dunia gejala ini (Hadiwijono, tt:42).
Pada pangkat ini realitas yang terpendam yang di dalam pangkat wahidiyya berkumpul sebagai awan, sekarang mengalir ke luar sebagai roh. Oleh karena itu pangkat ini disebut juga alam arwah. Selanjutnya dari pangkat alam arwah ini menjelma keluar menjadi hujan, air dan sungai yang terkenal dengan pangkat-pangkat alam mitsal, alam ajsam, alam insan.
Pangkat alam mitsal, adalah pangkat penjelmaan di mana pembagian rohaniah adalah suatu kenyataan. Alam ini adalah alam cita/ ide. Alam ini merupakan perbatasan antara alam arwah dan alam segala tubuh. Alam ini bercirikan warna seperti alam impian (Hadiwijono:45). Alam Ajsam atau alam segala tubuh adalah dunia yang terdiri dari anasir yang halus yang tak bisa diamati oleh indera, serta tak binasa. Pangkat penjelmaan terakhir adalah alam insan, yaitu dunia yang nampak ini. Alam ini disebut juga alam manusia sempurna (alam insan al-kamil).
Ketujuh pangkat penjelmaan yang selanjutnya sering disebut teori martabat tujuh itu sebenarnya bisa dirangkumkan menjadi tiga pangkat, yaitu dari Zat yang Mutlak (Achadiya), pangkat penengah di mana realitas yang terpendam (a’yan tsabita) timbul, baik sebagai kesatuan maupun sudah terinci (wahda dan wahidiyya), dan pangkat dunia gejala, yaitu realitas keluar (a’yan kharija). Demikianlah penjelasan Hamzah Fasuri tentang tanazzul (mengalir ke luar)-nya Zat yang Mutlak. Dia menempatkan Nur Muhammad sebagai penghubung/ perantara antara Zat yang Mutlak (Tuhan) dengan dunia. Dari Nur Muhammadlah Zat yang Mutlak bersinar. Dari Nur Muhammad pula asal segala kejadian alam ini. Pangkat penjelmaan terakhir adalah alam insan, yaitu dunia yang nampak ini. Alam ini disebut juga alam manusia sempurna (alam insan al-kamil). Pernyataan-pernyataan Hamzah ini mengingatkan kita kepada pemikiran Ibnu Araby dan filsafat emanasi dalam Neo-Platonisme.
4.4.3 Nur Muhammad dalam Pandangan Syeikh Nuruddin Ar- Raniry
Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad ar-Raniry al-Quraisy al-Syafi’i. Dia adalah seorang sarjana India keturunan Arab yang dilahirkan di Ranir (Rander) di daerah Gujarat. Nuruddin adalah seorang Syeikh dalam tarikat Rifa’iyyah. Sebelum tahun 1637 M, ia pernah datang ke Aceh. Namun, kedatangannya yang pertama kali itu tidak mendapat sambutan dari Sultan Iskandar Muda. Ketika itu yang bertindak sebagai mufti Aceh adalah Syeikhul-Islam Syamsuddin as-Sumatrani yang menganut paham “wujudiyyah”.
Nuruddin datang ke Aceh untuk kedua kalinya pada tahun 1047 H (1637 M), pada zaman Sultan Iskandar Tsani. Sultan ini memberi kedudukan yang sangat baik kepadanya. Dia diberi kesempatan untuk menyanggah faham “wujudiyyah” dari Hamzah Fansuri dan Syamsuddin (Daudy, 1984 : 35-39). Selain sebagai ulama dan mufti di istana, Nuruddin juga seorang penulis yang sangat produktif. Dia menulis kitab dari berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti fikih, hadits, sejarah, mistik, filsafat, perbandingan agama, dll. Dalam disertasinya tentang Asrar al Insan fil-Ma’rifatir-‘Ruh war-‘Rahman (1961), Tudjimah telah mencatat paling tidak terdapat 29 hasil karya Syaikh Nurrudin, antara lain Shiratal-Mustaqim, Bustanus-‘Salatin fi Dzikril-Awwalin wal-Akhirin Lathaiful-Asrar, Asrar al-Insan fi Ma’rifatir-‘Ruh war-‘Rahman, Tibyan fi Ma’rifatil-Adyan, Akhbarul-Akhirat fi Ahwalil-Qiyamah, Hilludz’Dzill, dll (Daudy, 1984 47-98)
Menurut Syeikh Nuruddin, hakikat alam ini dijadikan Allah melalui tajalli. Segala fenomena dan peristiwa yang terjadi di ala mini disebabkan oleh tajalli Allah yang senantiasa terjadi pada setiap saat dan waktu. Dia menolak teori emanasi atau faidh-nya Al-Farabi, karena akan membawa kepada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga jatuh kepada syirik. Teori tersebut juga menafikan kekuasaan Allah karena alam ini, menurut teori tersebut, melimpah dengan sendirinya tanpa iradah-Nya, seperti cahaya yang melimpah dari matahari. Namun demikaian, beliau yang juga penganut teori tajalli telah mengatakan adanya a’yan tsabitah sebagai sesuatu yang qadim, yang pada hakikatnya sama dengan teori emanasi dari al-Farabi. Rupanya hal ini kurang disadari olehnya (Daudy, 1984: 124-126).
Syeikh Nuruddin dalam Asrar al-Insan halaman 34-35 mengatakan bahwa yang mula-mula dijadikan Allah adalah “aAkal pertama” yang disebut juga hakikat Muhammad atau Ruh A’dzam. Ia adalah esa pada dzat (hakikat), tetapi banyak dari segi pengertian akal. Oleh karena itu, ia berfungsi sebagai sebab dan relasi. Selanjutnya dari kejamakan akali dalam dzatnya, melimpahlah “akal kedua” dan falak (bandingkan dengan konsep Al-Farabi). Jumlah semua akal ada sepuluh dan jumlah falak ada sembilan. Urut-urutan falak itu adalah Arasy, Kursyi, bintang Zuhal (Saturnus), Mustari (Yupiter), Mirrih (Mars), Syam (Matahari), Zuhara (Venus), Utharid (Mercurius), dan Qamar (bulan). Kesembilan falak tersebut disebut Aba’ (bapak). Di bawahnya ada Ummahat (ibu) yang terdiri dari empat unsur yaitu udara, air, api, dan tanah. Dari sebab pengaruh falak Aba’ kepada empat unsur (Ummahat) itu lahirlah berturut-turut imadat, nabatat, dan hayawanat. Yang terakhir ini adalah manusia, dengan lahirnya manusia maka sempurnalah penciptaan alam seluruhnya (Daudy, 1984: 126-127).
Dalam Asrar al-Insan halaman 40, Nuruddin mengatakan bahwa sebagai hakikat Muhammad, “akal pertama” menduduki tempat yang sentral dalam alam ini. Ia yang mula-mula melimpah (tajalli) dari Allah dan meneruskan limpahan itu kepada akal-akal di bawahnya. Di halaman 39, Nur Muhammad sebagai Qalam Allah yang sama sifatnya dengan sifat Allah. Oleh karena itu ia adalah sebab bagi segala yang ada dan yang tidak ada. Ia adalah juga permulaan dan kesudahan segala makhluk (Daudy, 1984: 127-128).
Pendirian Nuruddin tentang asal-usul jiwa manusia ini sangat erat kaitannya dengan teorinya tentang nur atau ruh Muhammad. Dia mendasarkan pendapatnya dari sebuah hadis Nabi yang artinya : “Yang mula-mula dijadikan Allah adalah nurku “ (dalam riwayat lain ruhy)”.
Dan satu hadis lain : “Jika bukan karenamu (Muhammad), tidaklah aku jadikan alam ini”.
Jadi, Nuruddin berpendapat bahwa alam beserta isinya, termasuk segala ruh makhluk ini dijadikan dari Nur Muhammad. Dia melukiskan dalam Jawahirul-Ulum fi Kasyfil-Ma’lum halaman 125, dan di dalam Asrarul-Insan halaman 29, 37-38 sebagai berikut:
“ Tatkala jadilah Nur Muhammad Saw dari pada Adam kepada wujud maka dijadikan Haqq ta’ala dari pada nur itu arwah segala ‘ulul-azmi itu segala mursal. Dan dari pada segala arwah segala mursal itu arwah-arwah segala anbiya’. Dan dari segala arwah anbiya’ itu arwah segala awliya’. Dan dari arwah segala awliya’ itu itu arwah arwah segala mukmin. Dan dari segala arwah segala mukmin itu arwah segala munafik. Dan dari arwah segala munafik itu arwah segala kafir. Dan syaitan, dan dari arwah segala jin dan syaitan itu arwah segala hayawanat. Dan dari segala arwah segala hayawanat itu arwah segala nabatat. Dan dari arwah segala nabatat itu arwah segala jamadat (Daudy, 1984: 156-157).
Di dalam Jawahir halaman 124, beliau menjelaskan proses terjadinya Nur Muhammad. Dikatakan bahwa Nur Muhammad itu tercipta sebagai hasil kerinduan Allah terhadap Dzat-Nya. Oleh karena kerinduan itu timbullah citra rinduan (shuratul-ma’syuq) pada ilmu-Nya, lalu Allah berfirman kepadanya dengan firman ciptaan “Kun”, maka lahirlah Nur Muhammad (Daudy, 1984: 157).
Munculnya segala arwah dari nur Muhammad bukan berarti bahwa Nur Muhammad terdiri dari bagian-bagian yang dapat berpindah kepada makhluk lain. Menurut Nuruddin, terjadinya arwah dari ruh Nur Muhammad adalah seperti pelita (dian) yang darinya dapat dinyalakan beribu-ribu pelita lain. Jadi yang berpindah bukanlah cahayanya tetapi bekasnya (atsar) yang dapat menyalakan banyak pelita.
Dia juga mengatakan dalam Asrar-al-Insan halaman 147 bahwa yang dimaksud dengan Insan Kamil adalah manusia yang dalam dirinya telah memiliki hakikat Muhammad atau Nur Muhammad atau ruh Muhammad sebagai makhluk awal mula dan sebab bagi terciptanya segala mahluk. Untuk memperkuat pendapat-pendapatnya, Nuruddin juga mengutip beberapa hadis (yang menurut para ulama ahli hadis, dianggap sebagai hadis palsu) antara lain :
“ Pertama-tama dijadikan Allah Ta’ala itu cahayaku, dan pada riwayat lain rukhy (Asrarul-Insan hal. 47)
“Adalah aku Nabi, dan Adam antara air dan tanah (Jawahir hal. 159)
“ Jikalau tiada karena engkau, ya Muhammad, niscaya tiada kujadikan segala alam ini (Jawahir hal. 125-126)
Hadis-hadis di atas menyatakan bahwa Nabi Muhammad atau Nur Muhammad telah dijadikan sebelum alam ini. Dia tercipta sebelum adanya dalam bentuk sebagai seorang Nabi Insani (fisik). Nur itu kadim lagi azali. Nur Muhammad selalu berpindah-pindah dari generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi seperti Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dll. yang berakhir kepada bentuk Nabi penutup, Muhammad saw. Seterusnya Nur itu berpindah kepada para Imam di kalangan Syi’ah Imamiyah dan berakhir pada Imam Mahdi Al-Muntazar. Di kalangan kaum tasawuf, Nur itu berpindah kepada para wali (awliya’) dan berakhir kepada wali penutup (khatamul-awliya’), yakni Nabi Isa yang akan turun pada akhir zaman (Daudy, 1984: 185-186). Bandingkan dengan konsep Insan al-Kamil dari Abdul Karim al-Jilli. Di sini tampak sekali pengaruh Al-Jilli pada Nuruddin.
Menurut Nuruddin (dalam Daudy, 1984: 187-188), Nur Muhammad/ ruh Muhammad adalah hakikat pertama yang mula-mula lahir dalam ilmu Allah (ta’ayyun awwal) yang lahir dari tajalli dzat atas dzat. Oleh karena itu hakikat atau nur Muhammad merupakan “ hakikat jami ” yang menghimpun segala yang haq. Hal ini dikarenakan alam syahadah adalah semata-mata merupakan wadah kenyataan bagi nama allah Al-Achir, Adz-‘Dzahir, sedangkan a’yan tsabitah adalah wadah kenyataan dari Allah: Al-awwal, Al-Bathin. Jadi jika sebagian-sebagian alam ini hanya merupakan wadah tajalli bagi sebagian asma Allah dan sifatnya, maka wadah kenyataan bagi tajalli nama Allah yang menghimpun segala nama dan sifat hanyalah pada “Insan Kamil”. “Insan Kamil” merupakan cermin bagi Allah untuk melihat kesempurnaan diri-Nya. Selanjutnya “Insan Kamil” juga sebagai pengikat semesta alam. Jadi pada “Insan Kamil” terhimpun segala yang Ilahi (Asrar hal 59-61). Dari itu “Insan Kamil” merupakan mikrokosmos (alam saghir) sedangkan alam semesta ini adalah makrokosmos (alam kabir).
Dalam kitabnya Akhbarul-Akhirat fil-Ahwalil-Qiyamah, yang telah ditransliterasikan oleh Djamaris (1983), pada bab I halaman 2-10, beliau menceritakan tentang kejadian Nur Muhammad. Diceritakan bahwa Nur Muhammad adalah makhluk pertama yang diciptakan Allah ta’ala.
Alam ini diciptakan karena Nur Muhammad. Nur Muhammad dilukiskan sebagai burung merak. Ia ditempatkan oleh Allah di pohon syajaratul-yaqin. Nur Muhammad sujud kepada Allah selam 70.000 tahun serta mengucap tasbih. Nur Muhammad dilihat oleh Allah yang membuat ia malu dan sujud lima kali. Itulah sebabnya ia diwajibkan untuk sembahyang lima kali sehari semalam. Karena malunya dilihat Allah, Nur Muhammad berpeluh. Peluh itu ada yang menjadi malaikat, arsyi, kursyi, lauh, matahari, bulan, dll. Akhirnya semua arwah diperintahkan Allah untuk melihat Nur Muhammad. Bial Arwah melihat kepala Nur Muhammad, ia akan menjadi khalifah atau raja; bila yang terlihat adalah keningnya, ia akan menjadi penulis’ dan seterusnya, bermacam-macam derajat orang tergantung dari apa yang dilihatnya dari Muhammad (Djamaris, 1982: 36-40).
4.5 Paham Nur Muhammad terjalin dalam Kesusastraan Melayu
Setelah penulis membicarakan pengaruh faham Nur Muhammad di dalam sastra kitab /mistik, di sini akan penulis kemukakan pengaruh faham Nur Muhammad di dalam sastra Melayu dalam arti belles letters. Ada dua teks yang yang akan penulis ambil sebagai contoh, yaitu Hikayat Nur Muhammad. Selain itu riwayat kejadian Nur Muhammad ini terdapat pula di dalam Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah dan Hikayat Syah I Merdan Juynboll (1899 : 202),.
4.5.1 Nur Muhammad di dalam Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah
Di dalam katalogus Ph. S. van Ronkel (1909: 250-254) naskah Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah (selanjunya disebut HMAH) tercatat delapan naskah. Selain yang masih berupa naskah yang jumlahnya tidak sedikit, HMAH juga telah ada yang dikerjakan oleh Ali Bahai dicetak di Singapura (Dipodjo, 1986: 171). L. F. Brakel telah membicarakan HMAH ini dalam The Hikayat Muhammad Hanfiyah (1975).
Menurut Brakel, yang sependapat pula dengan Dr. Ph.S.van Ronkel, behwa HMAH dalam sastra Melayu itu merupakan terjemahan langsung dari Parsi. Kesejajaran antara keduanya itu terlihat pada :
1. Pembagian atas bab antara keduanya sama.
2. Nama judul dalam bahasa Melayu adalah Hikayat Muhammad Hanafiyah, sama betul dengan Qissa-i-Muhammad Hanif dalam bahasa Parsi.
3. Banyaknya persamaaan dalam teks bahasa Melayu itu dengan mudah dapat dikembalikan ke dalam bahas Parsi (Dipodjojo, 1986:1982).
Hikayat ini mula-mula diminta oleh orang-orang Malaka ketika menantikan serangan orang Paringgi untuk dibacanya agar mendapatkan semangat bertempur pada pagi harinya. Pada mulanya permintaan itu ditolak oleh sultan Ahmad dan Sultan hanya berkenan meminjamkan Hikayat Amir Hamzah, tetapi karena permohonan itu dengan sangat, maka akhirnya Sultan pun berkenan meminjamkan. Hal itu dapat ditemukan pada Sejarah Melayu cerita yang ketiga puluh empat (Dipodjojo, 1986:160).
Inti ceritanya berpusat pada tokoh Muhammad Ali Hanafiyah, saudara Hasan dan Husein putra Ali bin Abi Thalib lain Ibu. Muhammad ali Hanafiyah adalah pahlawan kebanggaan kaum Syi’ah, yang menuntut balas akan kematian saudara-saudaranya yang terjebak tentara musuh di Karbela.
Isi HMAH secara garis besar isinya adalah :
1. Cerita Nur Muhammad, suatu cahaya kenabian yang ada pada setiap Nabi, cerita penciptaan Nabi Adam sampai menjelang kelahiran nabi Muhammad saw.
2. Cerita tentang Nabi Muhammad dan kejadian-kejadian yang dialaminya.
3. Cerita tentang Ali sejak memegang pemerintahan dan keturunan Ali sampai meninggalnya Muhammad Ali Hanafiyah.
Dalam hikayat tersebut cerita dimulai dengan uraian bahwa Tuhan menciptakan Nur Muhammad. Selanjutnya oleh Tuhan diciptalah ruh para Nabi, para wali dan para Arifin (orang yang bijaksana). Disuruh-Nya malaikat Jibril mengambil inti bumi. Inti bumi itu dijadikannya sebagai lembaga nabi”. Lembaga Nabi itu turun terus menerus sejak Nabi Adam a.s. melalui para Nabi yang lain sampai kepada Abdullah bin Abdul Muttalib (ayah Nabi Muhammad saw). Diceritakan bahwa ada seorang wanita kaya dari Syiria bernama Fatimah ingin bersuamikan Abdullah. Tetapi maksud itu kandas setelah mengetahui lembaga nabi itu telah berpindah ke rahim siti Aminah yang telah lebih dahulu diperistri Abdullah.
Menjelang kelahiran Nabi Muhammad, dahi Abdullah seakan-akan bercahaya bagai bintang Yahro. Cahaya itu padam setelah Abdullah beserta Siti Aminah, istrinya menyendiri dan mengingat Allah. Ketika Muhammad akan lahir, rumah Siti Aminah ada cahaya yang memancar sampai ke langit. Ketika Muhammad lahir, rumah Siti Aminah tertutup rapat sehingga orang lain tidak dapat masuk ke rumah tersebut (Dipodjojo, 1986: 170).
4.5.2. Nur Muhammad di Dalam Hikayat Syah I Merdan
Hikayat Syah I Merdan (HSM) oleh C. Hooykaas (1947:125) dimasukkan ke dalam Het Boek mit Indische Fantazie. Jalan ceritanya pada garis besarnya mirip dengan cerita Jawa yaitu Angling Darma (Atja, 1966:31-32). Hikayat ini berisi pula ajaran soal-soal keislaman yang dikemukakan dengan tanya jawab antara Syeikh Lukmanul-Hakim dan Syah Merdan.
Dalam perbincangan kedua orang itu mengenai sembahyang dikatakan bahwa sembahyang itu sifat Nabi, yakni Nabi Muhammad, berkat wali Allah. Sembahyang itu lahir dari pada Allah Ta’ala. Sholat subuh dilaksanakan dua rekaat karena asal-usul sifat Muhammad . sembahyang Lohor itu empat rekaat karena kenyatan Allah Ta’ala tu empat perkara, yaitu wujud, ilm, syuhud dan nur (bandingkandengan konsep Nuruddin di atas). Yang ada itu Allah Ta’ala dan yang nyata itu Muhammad, karena sudah tersimpan pada haq Allah Ta’ala, yakni Allah yang ada. Adapun ilmu itu mengetahui, dan yang mengetahui itu Muhammad, sedang yang diketahui adalah Allah Ta’ala. Nur adalah cahaya Muhammad /Nur Muhammad yang cahayanya itu terangnya Muhammad. Terang itu adalah ilmu Muhammad, sementara yang terang itu adalah Muhammad karena diterangi oleh Allah Ta’ala. Adapun syuhud itu adalah himpunan ilmu dan sifat pada hati kita, yaitu pengetahuan akan Allah Ta’ala.
Sembahyang Asar itu empat rekaat karena asal manusia itu dari empat perkara yaitu api, angin, air, dan tanah. Sembahyang Maghrib itu tiga rekaat karena tiga peringkat / martabat penjelmaan Tuhan yaitu Achadiya, Wachda, Wachidiyya. Ketiga martabat itu juga adalah Allah, Muhammad, dan Adam. Sembahyang Isya’ itu empat rekaat karena empat perkara yaitu wadi, madi, mani, manikam.
HSM juga menceritakan terjadinya bermacam-macam mahluk yang berasal dari karena Allah menilik pada Nur Muhammad dengan tilik kodrat-Nya. Karena sangat malunya keluarlah peluh dari dari Nur Muhammad. Dari peluh itulah terjadi berbagai kejadian yang berwujud segala makhluk.
4.5.3. Nur Muhammad di dalam Sejarah Melayu edisi Shellabear, W.G. 1979 Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn. Bhd
Di dalam Sejarah Melayu dibicarakan juga Nur Muhammad ini sebagai pembuka cerita. Pada Pasal pertama dikisahkan sebagai berikut.
Dan Ialah tuhan yang abadi, lagi senantiasa adanya, dan tiada sesuatu juapun kemudian-Nya. Maka dijadikannya segala makhluk, dan tiada hajat bagi-Nya. Walamma arada azhara rubbuiyatihi fakhalaqa nura habihi, wamn dzalika’l-nuri khalal’l anbiya’a wa fara’a rutbatuhu. Maka tatkala Ia hendak menyatakanketahuannya , maka dijadikannya Nur kekasih-Nya dan daripada nur itulah dijadikan segala anbiyak, dan dipaerangkatnya martabatnya. Wastafa minhum Adama liyuzhira nurahu, falidzalika sajada ‘l malakitau kulluhum lahu. Daripada anbiya’ itu Nabi Allah Adam supaya menyatakan nur kekasihnya, maka dari kerana itulah sujud sekalian malaikat akan dia. Wa akhrajahu minal jannati kaana fiihi chikmatahu, watafadhdhala alayhi bi’l rutbati l-ulya fasara fil ardhi khalifatuhu. Dan dikeluarkannya ia dari dalam surge, adalah dalamnya hikmatnya, dan dianugerahinya akan dia maratabt yang tinggi, maka jadilah ia akan khalfahnya di bumi. Subhanalladzi tafarradha bil-uluhiyati, wala syarika lahu, wayufni’l khala’iqa ba’da khalqihi, tsumma yu’iduhu. Maha suci bagi Allah yang tinggi ketuhanannya dan tiada sekutu baginya, dan lagi akan difanakannya segala makhluk, kemudian dijadikannya, maka dikembalikannya pula.

martabat 7

MARTABAT TUJUH



OLEH:



MUHAMMAD 'UTHMAN EL-MUHAMMADY



Nota ini, insya' Allah, akan membicarakan dengan ringkas, setakat memadai, tajuk 'Martabat Tujuh" sebagaimana yang terkenal dalam teks-teks Melayu-Jawi, dan dalam kalangan ahli persuratan dan ulama di Dunia Melayu, dan mengaitkannya pula dengan unsur-unsur yang ada dalam setengah penulisan tasauf yang ada dalam kalangan Ahlis-Sunnah wa'l-Jama'ah, dengen menyebut ciri-ciri dan dasar-dasarnya. Kemudian akan dibicarakan kedudukannya dalam konteks fahaman ilmu atau epistemologi Ahlis-Sunnah, adakah ia mempunyai 'tempat' yang memang sesuai baginya, yang perlu dibicarakan oleh mereka yang tertentu yang mempunyai persiapan-persiapan tertentu, ataupun, sebaliknya, ia sesuatu yang perlu dilupakan dan ditiadakan dalam wanaca keagamaan Dunia Melayu yang berpegang kepada Ahlis-Sunnah wal-Jama'ah semenjak dahulu sehingga sekarang, walaupun ada usaha untuk 'menyemak'nya oleh setengah kalangan. Dahulunya tajuk ini dibicarakan oleh kalangan mereka yang dikirakan 'ahli' sebenarnya; tetapi sekarang isu ini sudah 'keluar' daripada 'tempat'nya, dan dibicarakan oleh 'semua' pihak. Oleh itu timbullah keperluan untuk membicarakannya.Penulis ini yang tidak memandang dirinya ahli dalam bidang ini, tetapi yang bergantung kepada para ulama yang muktabar dan hasil-hasil para penyelidik bidangnya, mengharapkan perbincangan ini berlaku dalam keadaan 'fikiran yang dingin' dan sejahtera, demi untuk mencapai sesuatu yang jernih dan menyelamatkan, tanpa melanggar adab-adab yang dikehendaki terhadap ilmu dan para ulama, Allah memberi rahmat kepada mereka.Amin. "Input-input" yang berguna amat dialu-alukan untuk menyempurnakan perbincangan bersama.



Tasauf Di Dunia Melayu



Imam al-Ghazali rd dalam kitab Ihya' 'Ulumi'd-Din yang terkenal itu membahagikan tasauf kepada dua bahagian, iaitu tasawwuf mu'amalah dan tasauf mukasyafah.(1), yang mu'amalah ialah berkenaan dengan isu-isu seperti bersuci, beribadat, sifat-sifat yang buruk yang perlu dihilangkan daripada diri dan sifat-sifat yang baik yang perlu dijadikan perhiasan diri. Demikian pula di dalamnya termasuk soal-soal kehidupan seperti nikah-kahwin, usaha mencari rezeki yang halal, kehidupan berjiran, dan persoalan-persoalan yang sedemikian.



Perkara-perkara yang dimasukkan ke dalam bidang 'mukasyafah' ialah perkara-perkara yang menyentuh hakikat-hakikat tentang roh dan jiwa, hakikat ketuhanan, hubungan Tuhan dengan alam, hal-ahal alam yang kekal abadi yang selain daripada fardu 'ain dalam pembicaraan.Maka boleh dik,atakan bahawa pembicaraan tentang 'Martabat Tujuh' ini adalah termasuk ke dalam bahagian atau bidang yang disebut 'mukasyafah' itul,



Dalam hubungan dengan perkembangan Islam di Dunia Melayu, nampaknya dalam beberapa abad awal perkembangan itu situasinya berkebetulan dengan masa perkembangan tasawwudf dan tarikat-tarikat dalam erti yang biasa dimengerti. Ini adalah selain daripada hakikat bagaimana amalan-amalan rohaniah itu memang sudah ada pada zaman awal lagi, dan berkembang dengan baiknya, sebagaimana yang disebutkan oleh ibn Khaldun dalam al-Muqaddimahnya dan juga oleh ulama sufi dalam teks-teks mereka yang terkenal seperti Risalah al-Qushairiyyah dan Kashf al-Mahjub antara yang sekian banyaknya itu. Imam al-Ghazali rd menulis kitab berkenaan dengan tasawwuf yang menyentuh soal-soal akhlak dan pembentukan rohani secara 'moderat' mengikut setengah pihak, bagaimanapun ia menulis pula teks-teks seperti Mishkat al-Anwar misalnya, dan Tahafut al-Falasifah serta juga al-Maqsad al-Asna yang menghuraikan makna-makna yang sangtat dalam tentang Nama-Nama tuhan.Beliau meninggal dalam tahun 1111 , dan ibn 'Arabi rd yang banyak mempengaruhi para sufi kemudian, dengan al-Futuhat al-Makkiyyahnya dan Fusus al-Hikamnya meninggal tahun 1240; manakala Shaikh 'Abd al-Qadir al-Jilani rd meninggal dalam 1166, dan Shaikh Abul-Hasan al-Shadhili rd meninggal dalam tahun 1258. Dan Islam yang berkembang di Dunia Melayu nampaknya banyak menunjukkan pengaruh tasauf dan amalannya. Dengan itu nampaknya tasauf merupakan sesuatu unsur yang sangat penting dalam perkembangan Islam di rantau ini.(2)



Nampaknya sebutan tentang "Martabat Tujuh" ini dikaitkan dengan nama Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin al-Sumatrani atau Syamduddin Pasai, serta juga 'Abdur-Rauf Singkel yang hidup yang bergiat di Acheh dalam abad ke 16 dan ke 17.(3) Hamzah Fansuri mengeluarkan fahamannya dan pengelamannya melalui tulisan prosa dan puisi, dan ia muncul sebagai ahli puisi sufi yang teragung di rantau ini. Dalam karangan-karangannya ia mengeluarkan kata-kata yang menyatakan tentang 'keesaan yang wujud' ('wihdatul-wujud') yang terkait dengan nama ibn 'Arabi rd yang terkenal itu. Nampaknya ia mengamalkan tarikat Qadiriyyah dan mungkin juga ia 'khalifah' tarikat yang berkenaan.



Pengarang yang terkenal seorang lagi di Acheh ialah Shamsuddin Pasai (men.1630) yang mengharang dalam Bahasa Arab dan Bahasa Melayu; beliau tidak muncul sebagai penggubah puisi tetapi tulisannya lebih sistematis, dan memberi huraian tentang ajaran metafisika yang sama dengan gurunya tentang 'keesaan yang wujud'. Pada van Bruinessen nampaknya beliau pengarang yang pertama dalam Dunia Melayu memberi huraian berkenaan dengan martabat tujuh ini , yang merupakan adaptasi daripada teori ibn 'Arabi tentang emanasi atau 'faid' dari Tuhan yang popular di rantau ini.(4) Dalam hubungan dengan ini mungkin beliau mengikuti contoh pengarang Gujerat Muhammad b.Fadl Allah al-Burhanpuri yang menghuraikan doktrin yang sama dalam Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi , yang siap digubahnya pada 1590, dan kemudian menjadi popular di kalangan Muslimin Dunia melayu.(5)Mungkin beliau mengenali kitab ini di Acheh, atau di Makkah, atau di India. Burhanpuri beramal dengan tarikat Shattariyyah, dan selepas meninggal Shamsul-Din tarikat itu menjadi popular dari kalangan mereka yang pulang daripada menunaikan haji.



Mungkin boleh ditambah beberapa maklumat berkenaan dengan teks-teks karangan Syams al-Din Pasai ini.Antaranya ialah: Jawhar al-Haqa'iq (30 halaman dalam Bahasa Arab), karyanya yangpaling lengkap, disunting oleh Van Nieuwenhuijze, yang membicarakan martabat tujuh dan jalan mendampingi diri sengan Tuhan; kitab Risalah Tubayyin Mulahazat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dhikr Allah (berbahasa Arab), lapan halaman, diedit oleh Van Nieuwenhuijze, mengandungi huraian tentang perbezaan antara kaum yang berpegang kepada tauhid yang benar dan kaum yang mulhid; kitab Mir'at al-Mu'min (70 halaman) dalam Bahasa Melayu, menjelaskan keimanan kepada Allah, RasulNya, kitab-kitabNya, para malaikatNya, akhirat, qada'Nya, dalam akidah Ahlis-Sunnah wa al-Jama'ah (mengikut Imam Asy'ari dan Maturidi rd). Kitab Sharah Ruba'I Hamzah Fansuri, 24 halaman berbahasa Melayu, menjelaskan pengertian wihdatul-wujud. Kitab Syarah Sya'ir Ikan Tongkol (20 halaman, dalam Bahasa Melayu),ulasan 48 baris syair Hamzah Fansuri yang mengupas nur Muhammad dan cara mencapai fana' fi'Llah. Kitab Nur al-Daqa'iq (dalam 9 halaman, berbahasa Melayu, ditranskripsi oleh A.H. Johns (1953) huraian tentang rahasia ma'rifat , dalam martabat tujuh. Kitab Tariq al-Salikin (18 halaman, berbahasa Melayu), menjelaskan istilah-istilah seperti wujud, 'adam, haqq, batil, wajib, mumkin, mumtani', dan yang sepertinya. Kitab Mir'at al-Iman atau Bahr al-Nur,12 halaman, berbahasa Melayu, membicarakan ma'rifah, roh, dan martabat tujuh.Kitab al-Harakah , 4 halaman, ada yang berbahasa Arab dan ada yang berbahasa Melayu, membicarakan ma'rifah atau martabat tujuh.(6)





Kemudian ulama yang terkenal yang menentang Shamsu'l-Din Pasai dan Hamzah Fansuri ialah Nuru'l-Din al-Raniri rh, dan mungkin akibat penentangannya yang teruk, ia terpaksa meninggalkan bumi Acheh.



Shaikh Nurul-Din menuduh ajaran Hamzah Fansuri sebagai 'panteisme' dan membandingkannya dengan falsafah Vedanta Hindu dan ajaran Buddha Mahayana di Tibet.(7)



Seorang ulama basar Acheh ialah 'Abdul-Ra'uf Singkel rh (1615?-93) .Beliau berada di Mekah dan Madinah selama 19 tahun kemudian kembali ke Dunia Melayu.Nampaknya para penduduk ranrau ini sangat ramai menunaikan haji berbanding dengan para penduduk rantau lain walaupun jarak mereka dengan Mekah adalah jauh. Dan dengan adanya masyarakat mereka di sana yang kuat perpaduannya, maka pengaruh ulama Mekah besar di rantau ini. Antara ulama di sana yang berpengaruh di rantaum ini ialah Ahmad al-Qushashi rh, Ibrahim al-Kurani rh, dan anak Ibrahim bernama Muhammad Tahir yang berada di Madinah.



Pada pendapat van Bruinessen (8) Qushashi (men.1660) dan Kurani (men.1691) merupakan sintesis tradisi India dan Mesir yang berupa warisan kesarjanaan fikh dan tasawwuf Zakaria al-Ansari rh dan 'Abd al-Wahhab al-Sha'rani rh di satu pihak dan perlibatan dengan pengambilan bai'ah dalam tarikat-tarikat dari India terutamanya Shattariyyah dan Naqswhabandiah di satu pihak lainnya. Katanya tarikat-tarikat ini diperkenalkan oleh Shaikh Sibghatullah yang menetap di Madinah dalam tahun 1605.Kurani pula , yang ia adalah seorang bangsa Kurdi, mempunyai kemahiran dalam sastera berbahasa Parsi dari India, danj selain daripada kepakarannya dalam hadith beliau mempunyai minat yang mendalam tentang metafisika. Dalam menghadapi kontroversi-kontroversi, maka ulama India berpaling kepadanya untuk mendapat bimbingan. Demikian pula orang-orang Dunia Melayu. Kerana permintaan mereka maka ditulisnya syarah terhadap kitab Tuhfah al-Mursalah mengikut cara fahaman Ahlis-Sunnah wa al-jamaah. (9)





Beberapa generasi lamanya orang-orang Dunia Melayu mempelajari ilmu agama di Semenanjung Arab dengan ulama yang datang selepas daripada Kurani, dan mereka menuntut bai'ah dalam tarikat Shattariyyah, kadang-kadang dengan kombinasi tarikat-tarikat lainnya. Maka melalui tarikat Syattariyyahlah idea-idea metafisika sufi dan pembahagian-pembahagian atau klasifikasi berdasarkan ajaran martabat tujuh menjadi sebahagian daripada kepercayaan Orangt-Orang Jawa yang popular.



Hampir-hampir seabad kemudian Orang-Orang Dunia Melayu di negeri Arab sangat tertarik kepada Syaikh Muhammad bin 'Abd al-Karim al-Samman rh (men.1775) di Madinah, yang sangat dipercayai mempunyai keberkatan yang sangat besar, bertugas sebagai penjaga makam Nabi salla'llahu 'alaihi wa sallam dan mengarang beberapa buah kitab tentang metafisika sufi; beliau berpengaruh kerana ia pengasas tarikat Sammaniyyah; banyak kisah-kisah 'manakib' yang menunjukkan kekeramatannya, yang tersebar di Dunia Melayu.



Murid Syaikh Muhammad bin 'Abd al-Karim al-Samman yang terkenal sekali di Dunia Melayu ialah Syaikh 'Abd al-Samad al-Falimbani rh yang menulis beberapa buah kitab, antara yang terkenalnya ialah Siyar al-Salikin 'ila 'ibadati Rabbil-'Alamin yang berdasarkan kepada isi kandungan Ihya' Imam al-Ghazali rd. Selepas meninggalnya Syaikh Samman rh ia digantikan oleh khalifahnya Siddiq bin 'Umar Khan. Maka tersebarlah tarikat itu dengan meluasnya.



Kitab-kitab yang ada mempunyai huraian-huraian tentang metafisika ini disebutkan oleh Syaikh 'Abd al-Samad palembang rh dalam teksnya Sayr al-Salikin dalam jilid 3.Antaranya ialah teks-teks karangan ibn 'Arabi rd seperti Futuhat al-Makkiyyah dan Fusus al-Hikamnya yang disebutkannya sebagai teks untuk orangt-orang muntahi atau yang berada pada tahap penghabisan dalam perjalanan rohani.





Al-Manhalu's-Safi[ fi Bayani Rumuzi Ahli's-sufi]:



Antara teks-teks tentang metafisika sufi yang boleh disebutkan secara tepat sebagai beraliran 'martabat tujuh' ialah Kitab al-Manhali's-Safi yang kuat dikatakan ia karangan Syaikh Daud al-Fatani rh.Antara ulama yang mengajar kitab itu kepada mereka yang dikirakan sesuai untuk mendengarnya ialah alm haji 'Abd al-Rahman di Wakaf Baru, Kelantan. Saya sendiri pernah beberapa kali bercakap dengannya.Allahumma yarhamuh. Beliau mengajar kitab Hikam [yang dinisbahkan kepada To' Pulau Manis] dan juga al-Manhalus-Safi dan beliau menerangkannya mengikut apa yang diterimanya daripada To' Syafi' Kedah rh.Oleh kerana teks ini masih senang didapati sekarang dan ada tersesbar dalam masyarakat maka saya gunakan teks ini untuk perbincangan ini. Yang menarik laginya ialah teks ini ada nota-nota pada tepi beberapa halaman yang menunjukkan bahawa ia telah dijadikan teks untuk pengajian.



Isi kandungan maklumat tentang martabat tujuh dalam teks ini ialah seperti berikut (berdasarkan kepada MS yang ada pada saya, kerana yang tercetaknya tidak ada pada aya sekarang).Dalam naskah yang ada pada ayahanda Syaikh Ahmad al-Fatani sebagaimana yang diberitahu oleh rakan kita Wan Mohd Shaghir Abdullah, melalui saudara Zaidi Mohd Hasan, Allah membalas kebaikan kepada mereka, amin, karangan itu ialah memang karangan Syaikh Daud al-Fatani rh.MS yang ada pada saya ini bertarikh 1302 H. tertulis oleh Syihab al-Din bin Ismail syin ya (?), di tulis namanya dengan huruf berasing-asingan tidak disambungnya, di Makkah al-Mukarramah.Ia terdiri daripada 15 folio.



Pada folio 1 katakanlah 1B selepas mukadimah dengan basmalah, hamdalah, dan salawat, katanya…"bahawasanya adalah bagi segala kaum penghulu ahli al-saufi itu beberapa istilah mereka itu yang tiada mengetahui akan dia melainkan ahlinya.Maka tiada harus [bagi] yan g bukan ahlinya itu mentelaahkan segala kitab mereka itu kerana yang tiada mengetahui akan kehendaknya diambilnya atas zahir perkataan mereka itu maka membawa' kepada kufur; sebab itulah diharamkan metala'ah segala kitab mereka itu [mereka] yang bukan ahlinya, seperti kata Syaikh Muhyi'l-Din ibn al-'Arabi radiya'Llahu 'anhu, nahnu qaumun tahrim mutala'ati kutubina …ertinya bahawasanya adalah kami sduatu kaum yang haram mentala'ahkan segala kitab kami' yakni apabila tiada tahu akan segala istilah mereka itu.





Katanya:



Maka sayugianya jangan kita memudah-mudahkan segala perkataan mereka itu dengan ilham Tuhan mereka itu.Maka kebanyakan segala kitab mereka itu dengan mutasyabihat tiada dapat bagi segala orang yang ahli al-zahir mengambil dengan zahir katanya [yang pada zahirnya itu] menyalahi syariat dan hakikatnya sekali-kali tiada menyalahi batin syariat ; maka wajib atas murid apabila yang tiada tahu akan kehendak mereka itu ia menyerahkan segala perkataan mereka itu kepadanya, jangan ia meng(ing)karkandia dan jangan menyalahkan dia sepertim kata Syaikh Abul-Hasan al-Syadhili (rd);



التصديق فى علمنا ولاية صغرى



Maka bermula orangn yang membenarkan pada ilmu kami ini wali kecil



Katanya



Maka setengah daripada istilah mereka itu 'huruf aliyat' yang lagi akan datang kenyataannya dua bait syair karangan Syaikh Muhyi al-Din ibn al-'Arabi, dan demikian lagi seperti kata tilmidh (atau murid)nya dan khalifahnya Sadr al-Din [al-Qonyawi] Buni, 'wa ra'al-haqq mir'ah' yura' yang lagi akan datang kenyataannya beberapa banyak.Maka apabila engkau ketahui akan perkataan segala ahli saufi dengan isyarat jua, maka ta' dapat tiada daripada kita ketahui akian isyaratnya.Maka sekaranglah hamba nyatakan:



Ketahui olehmu bahawasanya adalah bagi Hak Subhanahu wa Ta'ala itu beberapa martabat [pada sisi pandangan rohaniah dalam kesedaran para 'arifin, bukan pada falsafah yang ditanggapi dengan lamunan otak atau minda-ujem] pertama Ahadiah, maka (1B)





Ahadiah





Iaitu martabah 'la ta'ayyun', iaitu 'kunhi zat' [iaitu semata-mata Zat Allah ta'ala tiada lainnya], kedua 'wahdah' [di]namakan dia 'ta'ayyun awwal' yaitu ibarat daripada ta'luk IlmuNya akan ZatNya dan akan sifatNya dan akan segala yang maujudat atas jalan ijmal, maka dinama akan dia Hakikah al-Muhammadiyyah [bukan nabi Muhammad s.a.w. yang di Mekah dan Medinah secara zahir itu], ; ketiga wahidiyyah dinama akan dia 'ta'ayyun thani', yaitu ibarat daripada ta'aluk ilmuNya akan ZatNya dan segala SifatNya dan segala maujudat atas jalan tafsil [terperinci satu demi satu, tetapi masih dalam Ilmu Allah yang Kadim dan azali], dan dinamakan dia hakikat insaniah [tidak bersangkut dengan manusia itu lagi, sebab ini beluam ada apa-apa].Maka ketiga[-tiga] martabat ini [martabat Ahadiah, Wahdah dan Wahidiyyah] itu kadim lagi dinamakan martabat keTuhanan.



Katanya:



Dan adalah [ia, yang dikatakan martabat keTuhanan, belum ada apa-apa yang lain itu] diu[m]pamakan 'ilman martabat Ahadiyah seperti kertas yang lapang, yang tiada di dalamnya suatu kaid jua [tak ada kaitan dengan apa-apa], demikian rupanya O .Sebab inilah dinamakan 'martabat itlak' yakni lepas daripada ada sesuatu dan 'la ta'ayyun'.[Dikatakan demikian] dengan sebab tiada ada nyata sesuatu juapun .



Wahdah



Katanya:



Dan mithal pula akan martabat wahdah itu u[m]pama noktah di dalam da'irah [atau bulatan] yakni titik yang satu demikian rupanya . , maka noktah itu asal bagi segala huruf, yakni menerima lagi mengandung segala huruf yang hendak disuratkan, tetapi ijmal di dalamnya yakni berhimpun di dalamnya tiada ada kenyataan huruf,



Wahidiyyah



Dan mithal pula akan martabat wahidiyyah itu u[m]pama 'alif' asatu huruf yang lain yang nyata dalam dairah [atau bulatan] demikian rupanya O [maka dibuat rajah bulatan ditengah-tengahnya ada alif], maka alif itu kesempurnaan noktah yang ijmal lagi ta'ayyun yang nyata sekira-kira tiada menerima paling lagi, sebab itulah dinamakan ta';ayyun thani', kerana noktah itu ta'ayyun awal, dan alif itu ta'ayyun thani , demikianlah mithal bila tashbih, walillahi'l-mathalul-a'la [ayat Qur'an surah al-Nahl ayat 60].

Katanya;



Dan demikian lagi [di]mithalkan pula oleh setengah ulama akan ketiga martabat itu supaya me[ng]hampirkan [kepada] faham kita , maka martabat ahadiyah itu seu[m]pama zihin [atau fikiran atau minda] kita tatkala sunyi ia daripada musta'kalkan sesuatu yakni merupakan suatu [dalam fikiran itu minda itu], maka dikatakan 'la ta'ayyun'.Maka apabila memulai engkau pada musta'kal kan sesuatu maka dinamakan ta'yyun awal' dan apabila [di]lanjutkan (folio 2A)



ta'akul itu, lagi berkekalan pula ia dinamakan ta'ayyun thani ; maka adalah dua martabat ini [dalam syuhud orang yang 'arif dalam pandangannya yang tinggi itu] yaitu wahdah dan wahidiyyah ibarat daripada dairah [atau lingkungan] ilmunya yang kadim; maka dari kerana inilah [maka] dinamakan dia 'a'yan thabitah' ['ain-'ain yang tetap dalam ilmu Allah yang kadim dan azali belum tercipta lagi]; maka ertinya 'a'yan thabitah' itu barang yang sabit di dalam ta'aluk ma'lum ilmuNya Allah ta'ala pada azalnya, tiada ada di sana itu melainkan ZatNya [semata-mata] dan segala SifatNya yang kadim jua.



A'yan Thabitah



Tentang a'yan thabitah itu katanya:



Maka a'yan thabitah itu [ialah] barang yang tiada mencium bau wujud, yakni belum lagi keluar daripada kalimah 'kun', maka apabila dikehendaki akan wujudnya, maka dikhitabkan kepada a'yan thabitah dengan [seolah-olahnya-uem] dijadikan kuat pendengaran daripadanya dan dilafaz 'kun' maka jadilah seumpama yang a'yan thabitah itu dengan Kodrat Allah subahanahu wa ta'ala , maka dinamakan dia kemudian daripada wujud khitab itu a'yan kharijiyyah; maka adalah ia muhdath [baharu], yang baharu, kerana athar [atau bekas, kesan] Kodrat yang kadim.Maka jangan engkau sangkakan a'yan kharijiyyah yaitu daripada a'yan thabitah, kerana a'yan thabitah itu tiada mencium bau wujud sekali-kali lagi kadim, betapa ia menerima keluar , maka betapa jadi hadath [atau hadith, baharu], , maka hanyasanya yang a'yan kharijiyyah itu 'bayan' bagi a'yan thabitah.



Dan adapun a'yan thabitah itu ka'in,[ada], yakni tetap ada iaitu, sabit, berkekalan seperti adaNya jua, kerana ma'lim ilmuNya itu tiada bercerai daripada ZatNya, seperti tiada bercerai segala sifatNya yang kadim.Demikian difahamkan perkataan ini.



A'yan Kharijiyyah



Tentang a'yan kharijiyyah, katanya:



Dan adalah a'yan kharijiyyah itu martabat 'ubudiyyah, yakni kehambaan, dan adalah martabat ta'ayyun awwal dan ta'ayyun thani makam anbia' dan aktab [para wali kutub], yang dapat mawarinya (?) daripada mereka itu daripada kadarNya dan pada dapat ia pandangkan wahdah di dalam kathrah [pandang yang satu dalam yang banyak dalam pendangan kerohanian] ialah makam [atau darjah kerohanian] orang yang taraqqi [orang yang mendaki] yakni memandang Allah ta'ala di dalamk tiap-tiap sesuatu [bukannya secara erti hulul, seperti Tuhan 'meresap' ke dalam sesuatu, sebab Tuhan bukan benda], seperti kata ahli'Llah, 'ma ra'aitu shai'an illla wa ra'aitu'Llaha fihi': ertinya tiada aku pandangkan sesuatu merlainkan ku pandang Allah padanya'.Maka tiada menegahkan banyaknya itu [iaitu banyaknya dan pelbagainya makhluk itu] akan memandang keesaan Allah t'ala (folio 2B)



Dan dapat pula memandangkan 'kathrah' di dalam wahdah, yaitu makam orang yang tanazzul, yaitu memandang yang banyak yang ia segala [yang] baharu ini di dalam wahdah , yakni Tuhan yang esa.Maka tiadalah menegahkan bagi segala yang 'arif yang kamil mukammil [yang sempurna segi rohani dirinya dan boleh menyempurnakan orang] itu daripada menilik keduanya kerana kathrah itu tidak dapat tiada daripada wahdahnya, kerana tiada dapat istiqlal [yakni menjadi merdeka tersendiri] sendirinya sekali-kali, kerana keadaan wahdah itu mempunmyai sifat dan asma' dan af'al yang memnyabitkan athar Kodrat dan Iradah yang menyabitkan kathrah yaitu wujud segala alam.



Selepas itu, katanya tentang kata-kata ibn 'Arabi:



Maka apabila engkau faham daripada perkataan ini, engkauketahui pula akan kata-kata Imam al-'Arifin Saidi Muhyil-Din ibn al-'Arabi di dalam kitab Manazil al-Insaniyyah,demikian bunyinya: [dalam] syair: 'kunna hurufan 'aliyat …(tak terang) …ertinya: Telah adalah kita sekelian beberapa huruf yang amat tinggi [sebagai ilmu Tuhan yang kadim dan azali sebelum dicipta olehNya ala mini], belum lagi dijadikan akan kita dengan firmanNya 'kun', dan adalah kita muta'allaq [bergantung bersambung-sambung antara satu dengan lain tidak bercerai-cerai] dengan segala kita, yakni adalah segala makhluk itu adalah ia di dalam inkishaf Ilmu Tuhan kita [yakni kita berada dalam nyata Ilmu Tuhan kita], masing-masing, dan bercerai-cerai mahiyyahnya, dan itu adalah dalam kepala-kepala segala bukit, yakni kemuncak aku-engkau di dalamnya, dan kami dan engkau, dan engkau dan ia, dan sekelian pada 'huwa' itu Ia jua.



Lepas itu katanya;



Maka tanyai olehmu orang yang wasil [yang mencapai ma'rifat dan mengenal Tuhan sebenarnya], yakni orang yang sampai, maka dikehendaki oleh syaikh dengan katanya: Telah adalah kita sekelian beberapa huruf yang amat tinggi belum lagi dijadikan akan kita ini, yakni telah adalah kita pada azal beberapa haqa'iq ghaibiyyah [hakikat-hakikat yang ghaib] yang thabit sekelian kita di dalam ilmu hak ta'ala belum lagi kita dijadikan… kerana adalah bagi tiap-tiap yang maujud (folio 3A)…



Itu ada dengan 'mahiyyah' kejadiannya, dan adapun halnya dan martabatnya dan hukumnya dan adalah sekelian itu lagi di dalam ma'lum ilmu [Tuhan] yang kadim, dan dikehendaki dengan katanya 'dan adalah yang demikian itu di dalam kepala-kepala segala bukit', yakni di dalam ta'ayyun awal, yang dinamakan dia martabat wahdah yang ijmal yang terdahulu sebutnya,



Katanya lagi:



Dan yang dikehendaki dengan katanya 'aku engkau di dalamnya dan kami engkau dan engkau ia' itu, yakni daripada pihak ijmalnya belum lagi tafsil, tiada berbeza setengah daripada setenganya.Martabat itu tetapi aku itu aku jua dan engkau itu engkau jua dan ia ia jua, misalkan yang demikian itu dengan tiada tashbih, seperti air digugurkan ke dalam laut, maka tatkala itu adalah kita dapat membezakan dia daripada air laut maka kita kata air itu laut, dan laut itu air, tetapi yang laut itu laut juga dan air itu air jua, tiada dapat bertukar kerana adalah segala hakikat itu tiada dapat bertukar-tukar



Katanya lagi:



Dan taktkala nyatalah kita ingat akan air yang setitik itu sebab hairan kita daripada memandang laut maka tatkala itu dapat kita kata sekelian itu laut [dan janganlah pula terfikir dengan misalan ini bahawa Allah itu bersambung zatNya dengan zat kita, Allah adalah Allah, Tuhan kita, kita adalah makhluk ciptaanNya].



Katanya;



Dan dikehendaki dengan katanya:' dan sekeliannya pada 'huwa' itu ia jua yakni adalah sekelian pada martabat ahadiah daripada pihak tamsi [yakni terhapus dalam penyaksian batin serwaktu dalam pengelaman rohani yang berkenaan] yakni hapus di dalamnya ia jua, kerana nyata tiada menerima di sana lain daripada nama 'huwa' dan ia nama hadrat 'la shay' ma'ahu [tiada sesuatu denganNya, merujuk kepada hadith yang bermaksud, telah adalah Allah walhal tiada ada sesuatu berserta denganNya], dan segala hadrat yang dibawahNya [di bawah dari segi darjat hakikinya, 'ontologinya'] di namakan hadrat 'wa huwa ma'akum ainama kuntum' [Ia bersama dengan kamu di mana kamu berada], dan dikehendaki dengan katanya 'maka tanya olehmu akan orang yang wasil, yakni apabila [engkau ber]kehendak mengetahui demikian itu, maka tanya olehmu akan orang yang sampai pada pengetahuan itu, maka apabila engkau tanya akan dia nescaya diberinya jawab akan dikau daripada yang demikian itu.(folio.3B).



Seterusnya katanya, kita ini :



…pada ta'ayyun awal yang ia hadrah 'alam ijmali, itu 'haqa'iq ghaibiyyah' namanya dan 'shu'un dhatiyyah' pun namanya, tiada membeza setengahnya daripada setengahnya daripada pihak ijmalnya.Dan adalah 'shu'un' itu pada hadrah ta'ayyun thani yang ia hadrat ilmu tafsil a'yan thabitah namanya; maka pada hadrat itu berbeza setengahnya daripada setengahnya.Maka manusia itu akan rupa manusia dan jin itu akan rupa jinnya dan malaikat akan rupa malaikatnya dan bumi itu dengan rupa buminya…masing-masing dengan kelakuan yang tertentu dengan dia pada hal tiadalah dapat dikatakan di sana yakni pada hadrat ta'ayyun thani itu aku engkau dan kami engkau daripada pihak ia sudah masing-masing dengan kelakuannya yang tertentu dengan dia dan adalah sekelian itu kadim darpada pihak ta'aluk ilmu kepadaNya (folio 4A).



Kemudian katanya berhubungan dengan hadrah ini, dengan membenarkan pengarang Tuhfah al-Mursalah dengan kenyataan:



Bermula jika dikata oleh seseorang aku engkau atau kami engkau ia atau sekelian itu ia serta dikehendakinya dengan katanya itu pada azalnya, yakni pada ta'ayyun awal daripada pihak ijmal di dalamnya dan dikehendakinya dengan katanya atau sekelian ia itu ahadiyah daripada pihak tamsi di dalamnya, maka itu benar dengan kata ini sayugianya kita ta'wilkan dan kita tanggungkan kata sahib 'Tuhfah al-Mursalah' wa amma min haithu al-haqiqah fal-kull wa huwa al-haqq' ertinya adapun daripada hakikat yakni asal, maka sekelian itu yaitu hak (folio 4A)





Seterusnya:



Maka tiada dapat kita ambilkan kepada zahirnya kerana zahirnya itu tempat tergelincir segalam orang yang awam; dan jika dikehendakinya dengan katanya aku engkau dan kami engkau itu sekarang kemudian daripada nyata sekeliannya ini nescaya tiadalah benar ke atasnya itu istimewa pula jikalau ia mengatakan sekeliannya ia mithal bila tashbih dengan dua mithal pertama seperti segala huruf yangh dua puluh delapan itu tatkala ia belum terb unyi di dalam da'wat adalah ia 'ain da'wat dan tatkala ia pada hujung kalam pun 'ain da'wah jua tatkala ia tersurat dalam lauh maka adalah ia lain daripada da'wat dan lain daripada kalam dan misal yang keduanya seperti ra[n]ting dan cawan[g] [yaitu dahan] dan segala daun maka tatkala terkandung sekelian itu di dalam biji daripada pihak lenyap yakni sekelian di dalamnya maka sekelian itu dapat dikatakan dia 'ain biji daripada pihak yang tersebut itu dan tatkala nyatalah sekelian itu masing-masing dengan ketentuannya maka yaitu lain daripada biji; dan jangan engkau sangkakan perkataan itu bahawa adalah sekelian itu dahulu daripada nyatanya 'ain biji yang kemudian berpindah ia kepada yang lain daripadanya maka yang demikian itu muhal (yaitu mustahil) adanya, hanya biji itu biji jua dan ra[n]ting itu ra[n]ting jua dan cawan[g] itu cawan[g]nya jua dan daun itu daun jua jikalau belum lagi keluar ia daripada biji sekalipun yang haqa'iq itu tiada dapat bercampur dan tiada dapat bertukar hanya yang dapat bertukar itu mithal yakni rupa jua seperti kata 'arifin 'al-'abdu 'abdun wa in taraqqa wa l-rabb rabbun wa in tanazzal, ertinya yang hamba itu hamba jua dan jikalau naik kepada itlak sekalipun dan Tuhan itu Tuhan jua dan jikalau 'turun' sekalipun pada pihak tajalli pada barang rupa yang dikehendakinya.Maka inilah dua mithal yang menghampirkan kepada faham kita mengetahui masalah 'ainiyah dan ghairiyyah . (Folio. 4B).



Kemudian katanya sebagai kesimpulan:



Dan hasil perkataan ini [ialah] bahawa alam ini atau segala perkara ini bukan ia sekali-kali kerana Hak Ta'ala dan bukan ia (fol.4B) lain daripadanya pula dengan lain yang mustakil [terpisah, terasing] sendirinya.Dan kerana inilah kaTa Syaikh Sadr al-Din Bawwani [?] khalifah Muhyi al-Din ibn al-'Arabi qaddasal'Llahu sirrahu hamba pada men[g]hikayatkan : Pandang orang yang sempurna ma'rifatnya dengan katanya wa ra'a nafsahu wa kulla shai'in min wajhi ghairi'l-Haqq wa min wajhi sha'nin wa min wajhi 'ainihi wa ra'al-Haqqa mir'atan yara minha tafasil ahwal 'ainihi kama yara 'ainahu mazhara wujudi'l-Haqq kullu dhalika fi anin wahidin: ertinya: Telah dilihat orang yang arif itu akan dirinya dan tiap-tiap sesuatu daripada sesuatu pihak lain daripada hak, dan pada sesuatu pihak pekerjaannya dilihatnya Hak Ta'ala itu cermin yang dilihat di dalamnya itu akan beberapa hal dirinya seperti ia melihat dirinya tempat nyata bagi wujud Hak Ta'ala maka adalah segala pandang yang demikian itu pada suatu masa jua.



Katanya:



Dan dikehendaki dengan katanya 'dirinya' itu tiap-tiap sesuatu; yaitu segala akwan [alam yang ada] ini daripada pihak suatu pihak yakni daripada pihak ta'ayyuun thani lain daripada Hak kerana sudah bermasing-masing kelakuannya yang tertentu dan jikalau ada ada ia kadim sekalipun kerana ia ibarat daripada ma'lum ilmuNya…(fol.5A)Dan demikian seterusnya.



Seterusnya dalam hubungan dengan kenyataan 'melihjat dirinya tempat nyata bagi wujud Hak Taq'ala maka 'melihat Tuhannya itu di dalam dirinya' katanya: dan segala asma'Nya dan segala sifatNya dengan sekira-kira penerimaannya yakni I'tibar tajalliNya kerana adalah sekelian alam ini tajalli bagi keadaan wujudNya ; maka adalah tiap-tiap tajalliNya itu dapat menyatakan seperti u[m]pama cermin yang dilihatkan bagi dirinya dan lagi adalah difaham daripada kalam ini me[ng]isyaratkan pula akan dua makam, yang pertamanya itu katanya 'dilihat akan Hak ta'ala cermin yang menyatakan tafsil hal dirinya itu pandang kathrah di dalam wahdah yang dimithalkan oleh setengah 'arifin seperti biji korma maka dipandangkan pada bijinya itu akan pohonnya dan pelepahnya dan bunganya dan buahnya sekelian [itu] lengkap pada bijinya; dan pada katanya 'seperti melihat dirinya itu tempat nyata bagi wujud Hak' me[ng]isyaratkan pada makam pandang wahdah di dalam kathrah, yakni seperti ia memandang kepada buahnya dan pada bunganya dan pada pelepahnya dan batangnya itu akan bijinya.Maka nyatalah daripada kata Sadr al-Din radiya'Llahu 'anhu bahawa alam dan segala perkara itu tiada ada 'ain sekali-kali dan tiada ada ghair [sifat sebagai lain daripada Tuhan] yang mustaqil [terbebas terasing daripada Tuhan] sekali-kali; dan thabit 'ain pun ada dan thabit ghair pun ada…(fol.5B). Diikuti dengan kenyataan tertkenal 'man 'arafa nafsahu faqad 'arafa Rabbahu'



Kemudian beliau menyebut hadith 'kana Allah wa la shay' ma'ahu' wa Huwa al-ana kama kana 'alaihi [ertinya] Adalah Allah taala dan tiada ada suatu sertaNya dan yaitu sekarang seperti barang keadaan atasnya maka diketahuinya daripada hadith ini (fol.5B) [bahawa] segala akwan [alam yang ada] ini tiadalah pada akikatnya yang sebenar-benar dan yang ada itu Tuhan yang maujud yang sebenar-benarnya kerana adalah diri hamba dan segala perkara hapus di dalam hadithnya.(fol.6A).



Kemudian ia menyebut kenyataan Syaikh Ahmad al-Qushashi rh 'al-wujud wahidun bi al-dhati' wa muta'addidun bil-nasabi wa al-idafat ertinya : yang maujud itu esa dengan zatnya dan yang berbilang-bilang itu segala bangsanya dan segala sandarannya jua.Wallahu a'lam.(fol.5B).



Katanya lagi:



Adapun kemudian daripada zuhurnya [yaitu zahirnya] dan ta'ayyunnya maka tiada dikatakan sekelian itu Hak, dan dikatakanm Hak itu Hak dan hamba itu hamba; dan kerana inilah dinamakan kemudian pada zuhurnya dan ta'ayyunnya dengan 'Al-Awwalu wa al-Akhiru wa al-Zahiru wa al-Batinu" dan adalah ia awal dengan nisbah kepada zuhurnya sebab shu'unnya dan af'alnya dan ahkamnya jua bukan nisbah pada zatNya kerana zatnya itu tiada baginya awal dan Ialah yang akhir dengan nisbah kembali segala pekerjaan kepadaNya jua tiada ZatNya itu kesudahan dan adalah ia zahir dengan nisbah kepada segala kalbu yang kamil lagi wasil [yang sempurna dan sampai kepada ma'rifat Tuhan yang sebenarnya]dan adalah ia yang batin dengan nisbah kepada segala kalbu kafir lagi jahil, dan adalah ia zahir pada 'ain [mata batin] dan batin pada 'ain zahirnya dan awal pada 'ain zahirnya dan awal pada 'ain akhirnya dan akhir ia pada 'ain awalnya (fol.6B).



Katanya lagi:



Dan adalah ia muhit yakni meliputi pada awal dan akhir pada zahirnya dan batin seperti firman Allah:

والله من وراءهم محيط



Yakni bahawa Allah yang meliputi daripada segala makhluk ; demikianlah disebut oleh Syaikh Nur al-Din [al-Raniri] di dalam kitabnya Jauhar al-'Ulum . (fol.7A).







Alam Arwah:



Katanya berkenaan dengan martabat ke empat alam arwah ini:



Martabat alam arwah, yaitu alam segala nyawa dan yaitu ibarat daripada beberapa perkara kauniyyah yakni yang masuk di bawah kalimah 'kun' yang keluar daripada pekerjaan Tuhan dengan tiada pertengahan dan perantaraan lagi mujarrad yakni yang sunyi daripada berkening [yakni bersifat] dengan tabi'at [alam tabi'i] lagi basitiah [yakni zat-zat bukan benda] yang tiada bersusun padanya yang nyata ia atas segala zatnya .Maka mengenal dirinya dan dikenal setengahnya akan setengahnya, dan atas segala u[m]pamanya .Maka adalah yang pertama-tama yang dijadikan Allah ta'ala Nur Nabi Muhammad salla'llahu 'alaihi wa sallam daripada NurNya, yakni dijadikan Nur Muhammad itu dengan Nur Tuhannya bukan ia setengah daripada nur Allah, kerana adalah setengah daripada asma' Allah itu Nur sesperti firman Allah Ta'ala:



الله نور السموات والارض



Bermula Allah ta'ala menerangkan tujkuh petala langit dan bumi. [Surah al-Nur.35]Maka dinamakan Nabi kita pun nur pula seperti firmanNya



قد جاءكم من الله نور



"Sesungguhnya telah datangkan kemu daripada Allah nur", yaitu Muhammad kerana adalah difahamkan oleh setengah orang yang jahil itu bermula Muhammad itu daripada Nur Allah maka zahirlah salahnya jadi Muhammad setengah daripada Allah subhanahu wa ta'ala.Ta'ala Allah 'an dhalika 'uluwwan kabira daripada yang disifat oleh zalimun .



kemudian maka dijadikan daripada Nur Nabi kita akan arwah segala anbia' dan mursalin dan segala mukminin .Maka adalah ruh nabi kita asal al-arwah , sebab itulah dinamai akan dia mazhar al-atamm dengan sebab itulah jadi [ia] khatam al-nabiyyin wa sayyid al-mursalin wa rahmatan lil-'alamin.Maka adalah nabi kita itu kenyataan yang sempurna bagi asma' Allah dan sifatNya, maka ialah yang memerintahkan pada alam kabir dan alam saghir [alam kabir alam yang kelihatan ini alam saghir adalam manusia].(fol.7A).(Perbincangan tentang 'Nur Muhammad" ada disediakanh oleh penulis ini, dan ia boleh diakses dalam laman web: http://www.geocities.com/traditionalislam/-di bawah tajuk: "Konsep Nur Muhammad di Dunia Melayu Dalam Konteks Wacana Sunni" dengan pemaparan nas-nasnya, untuk pertimbangan mereka yang mahir di dalamnya.-penulis).



Alam Mithal:



Katanya: Martabat yang kelima martabat alam mithal yang dinamakan dia 'alam khiyal yang terbit [nisbah manusia] di hadapan otak , ialah akal yang ditaruh pada hadapan otak [selain daripada akal yang ada pada kalbu -uem] dan digelarkan dengan ard al-simsimah dan ard al-haqiqah dan [nisbahpada alam semesta pula-uem] iaitu alam mithal itu ibarat daripada segala perkara kauniyyah yang masuk di bawah kalimah 'kun' lagi bersusun daripada beberapa suku yang khiyali lagi halus yang tiada menerima suku-sukukan yakni tiada menerima bahagi dan tiada menerima cerai-cerai dan tiada menerima setengah yakni tiada menerima bahagi dan tiada menerima carik dan bertemu kerana halusnya dan tiada kasarnya .(fol.7B)



Alam Ajsam:



Yaitu [alam] …yang kasar yang tersusun daripada beberapa kerjadian yang empat yaitu api dan hawa dan air dan tanah [dalam fisik klasik, yang sekarang terlalu amat banyak 'elements'nya], maka keluar daripadanya lima perkara pula pertama jamad [benda-benda padat], dan nabat [tanaman], dan haiwan, dan insan dan jin ; maka adalah alam ajsam itu ibarat daripada segala perkara yang kauniyah yakni yang masuk di bawah lafaz 'kun' [perintah Allah] yang bersusun daripada perkara yang kasar lagi menerima suku-sukukan dan dibahagikan dan carik dan bertemu. (fol.7B)





Martabat yang ketujuh:



Katanya: dan martabat yang ketujuh martabat yang jami' [yang menghimpunkan semua] bagi segala martabat yang jasmani, yaitu alam mithal, dan alam ajsam, dan yang nurani yang kadim yaitu ahadiah, dan nurani yang hadith 'alam arwah dan yang menghimpunkan pula martabat wahdah dan wahidiah, maka ialah yang dinamakan tajalli yang akhir, yaitu dinamakan martabat insan yang kamil.



Inilah metafisika sufi tentang martabat tujuh yang terkenal dikalangan ulama rantau ini, berdasarkan wacana ulama yang terdahulu secara implikasi dan dihuraikan secara mendetail oleh ibn 'Arabi, dengan sedikit modifikasi kemudiannya. Ertinya Syaikh Daud al-Fatani rh yang menulis tentang fiqh seperti Furu' al-masa'il dan Bughyah al-Tullab, dan dalam akidah menulis Al-Durruth-Thamin dan Ward al-Zawahir, demikian pula menulis tentangt tasauf dalam terjemahannya ke atas Minhaj al-'Abidin Imam al-Ghazali dengan memberi judul yang sama, dan memberi huraian tasauf Abu Madyan al-maghribi rd dalam Kanz al-Minan Syarah Hikam Abi Madyan ;kemudian ia menulis pula kitab metafisika tasauf al-Manhal al-Safi [fi bayan Ruimuz Ahl al-Sufi] ini.







Ia antara mereka yang mewakili dengan baiknya kesepaduan intelektualiti ulama Ahlis-Sunnah wa al-Jama'ah di rantau ini.



Seterusnya lagi beliau berbicara berkenaan dengan perjalanan kerohanian.Katanya:



Ketahui olehmu bahawasanya orang yang salik kepada Allah apabila bersungguh-sungguh ia berjalan kepada Tuhannya dan serta beradab ia pula dengan gurunya yang menjalani nescaya diputuskan beberapa 'alam hingga sampai kepada Tuhannya ; maka pertama alam yang diputuskan yakni yang dilalukan 'alam mulk dan dinamakan alam nasut pula yaitu barang yang didapatkan dengan mata kepala seperti segala ajsam dan lainnya, iaitulah dinamakan pula alam nafs; kemudian [ia] lalukan pula [dalam perjalanan rohaninya itu] alam (fol.7B)

Malakut , iaitu barang yang [di]dapatkan dia dengan matahati dan iaitu 'alam al-qalb dan dinamakan pula 'alam akhirat [jangan dikelirukan itu dengan apa yang berlaku selepas daripada kiamat sebab ini berlaku atas seseorang sebelum kiamat-uem]; kemudian dilalunya pula alam al-jabarut dan iaitu alam al-arwah kemudian dilalunya pula alam lahut, iaitu alam sirr yakni rahasia Allah ta'ala; dan padanya hilang segala asma' dan segala rasm yakni segala athar [athar kesan, bekas], dan tiada dipandangnya di sana itu melainkan Wahid al-Ahad dan padanya sehingga [-hingga] fana hamba dengan Tuhannya yakni selesailah ia daripada memandang kepada aghyar [jamak bagi 'ghair', yang lain daripada Allah], dan sucilah hatinya daripada akdarnya [karat-karat rohaniah], aghyar, dan sucilah hatinya daripada akdar dan aghyar [nampaknya ini ulangan yang dibuat oleh penulis khatnya], dan ketika itulah dipenuhkan di dalam segala ma'rifat dan asrar [asrar jamak bagi sir, rahasia], patutlah ia tempat tajalli Tuhannya sebab lepas [ia daripada-] diperhambakan segala aghyar maka dinamakan hatinya tatkala itu ka'babatu'Llah [ka'bah bagi Allah, bukannya Allah ada di dalam tetapi disebut demikian sebab ternyata iman adalah perbuatan hati, apa lagi iman yang setinggi yang dimaksudkan ini] dan mahligai Allah dan rumah Allah yakni murad daripadanya [ialah] tempat tajalliNya dan tempat tiliknya [ingat kepada hadith yang menyebut Allah tidak memandang kepada …melainkan ia memandang kepada hati kamu], dan rahasiaNya [Tuhan akan curahkan fahaman-fahaman yang mendalam kepadanya] dan patutlah menanggung Amanah Allah dan patut ia mengenal akan Allah seperti firmanNya di dalam hadith kudsi :



بنيت فى جوف ابن ادم قصرا وفى القصر صدرا وفى الصدر قلبا (وفى القلب) فوءادا وفى الفوءاد شغافا وفى الشغاف لبا وفى اللب سرا وفى السر أنا



Ertinya:Telah Ku perbuat di dalam rongga anak Adam itu suatu ma[h]ligai dan adalah di dalam ma[h]ligai itu dada, dan di dalam dada itu hati, dan di dalam hati itu fua'd, dan di dalam fu'ad itu syaghaf dan di dalam syaghaf itu lubb, dan di dalam lubb itu sirr dan di dalam sirr itu Aku.



Yakni di dalam sirr itu tempat tajalli Aku dan tempat ia mengenal akan Daku.



Dan lagi firmanNya kepada Nabi Allah Daud 'alaihis-salam :



فرغ لى بيتا أسكن فيه



Ertinya; Hai Daud selesaikan olehmu [yakni kosongkan olehmu] bagiKu suatu rumah supaya diam Aku di dalamnya. Maka sembahnya:…maka betapa hai Tuhanku? Maka firmanNya …selesaikan olehmu [yakni kosongkan olehmu] hatimu maka apabila keluarlah seorang itu daripada dirinya maka dinamakan martabat (folio.8 A)



Haqqul-yaqin seperti kata Syaikh Ruslan di dalam Hikamnya; 'Al-yaqinu khurujuka 'anka' ertinya bermula yakin itu keluar engkau daripada diri engkau, yakni keluar engkau daripada melihat akan wujud dirinya akan dayanya dan upayanya maka melihat sekelian itu daripada Allah dengan Allah bagi Allah, …(folio.8B).



Teks ini seterusnya membicarakan hal-hal lanjutan tentang beberapa aspek lagi yang menyentuh perjalanan rohani hamba kepada Tuhannya.



Antaranya yang disentuh itu ialah tinggalkan yang lain dari Allah [dari segi rohaninya dan kesedarannya] (fol.8B), sehingga jadilah pendengarannya pendengaran Allah dan seterusnya (ibid), itu dikatakan martabat wahdah 'yang hapus daripada asma dan rusum' dan ini diisyaratkan [dari segi Allah pula] 'kana Allah wa la shay' ma'ahu' ertinya adalah Allah taala sebelum lagi dijadikan alam dan tiada suatu sertaNya(fol.8B).



Antaranya disebutkan bagaimana 'tajalli' sifat sama' dalam hubungan dengan hamba.Katanya: 'Jika ditajalli Allah ta'ala dengan sifat sama' maka jadilah orang yang(fol.8B)



Salik itu mendengar daripada af'al itu yaitu barang yang dibukakan Allah bagi hanya salik daripada af'al ta'ala sekira-kira dilihat sekelian perkara itu berlaku dengan kudrat Allah ta'ala Ialah yang menggerakkan dan ,mendiamkan akan sebagai syuhud yang hali [iaitu pemandangan secara rohani yang dialami betul-betul oleh orang itu] lagi dhauqi [dhauq, 'secara kecapan rasa [rohani], bukan 'secara fikir'] tiada mengetahui melainkan ahlinya; maka di sinilah tempat tergelincir kaki orang yang salik [apa lagi orang yang hanya 'fikir sendiri ' seperti membaca surat khabar harian lalu 'fikir sendiri'] kerana ia menafikan perbuatannya sekali-kali maka hendaklah sangat-sangat memegang akan Syari'at " (fol10A).



Seterusnya dibicarakan istilah-istilah yang berkaitan dengan pengelaman rohani dengan Tuhan seperti hal dan maqam (fol.10A), 'ilmul-yaqin (ibid), 'ainul-yaqin (ibid), al-jam' (ibid), jam' al-jam'I (ibid), yang disebutkan [dalam hubungan dengan orang yang mengalaminya] martabat Ahadiah (perlu diingat martabat Ahadiah dalam hubungan dengan Tuhan sewaktu tiada ta'ayyun, itu satu, martabat ahadiah yang dialami oleh orang 'arif terhadap Tuhan itu suatu perkara pula], al-farq al-awwal (ibid), al-farq al-thani (ibid), tajrid (fol.10B), siddiq (ibid), taqwa (ibid), haibah (ibid), munajat (ibid), salih (ibid), wali (ibid), al-tasawwuf (fol.11A), ini menarik.



Tentang tasawwuf katanya:"Iaitu berhenti serta adab syari'at yang zahir dan yang batinnya; maka melihat akan hukumnya daripada zahirnya dalam batinnya dan daripada batin pada zahirnya, maka hasillah daripada dua hukum itu sempurna yang tiada sempurnakan kemudian daripadanya", atau dikata[kan]nya "iaitu jernih zahirnya daripada dosa dan jernih batinnya daripada aghyar" (fol.11A).



Antaranya dibicarakan : al-shari'ah (ibid), 'ishq dan 'ashiq (ibid), ma'shuq (ibid), a'yan thabitah (ibid), a'yan kharijiyyah (fol.11B), dan mahw dan ithbat dan lain-lainnya.termasuk beberapa kategori tauhid (fol.12A ), sebutan tentang 'tujuh makam' makam zulumat yang aghyar, iaitu dinamakan nafsu, padanya itu nafsu ammarah bissu', kedua makam nur [anwar?], dan dinamakan nafsu padanya dengan nafsu lawwamah, ketiga makam asrar dinamakan nafsu padanya dengan mulhamah, keempat makam kamal dan dinamakan pula nafsu padanya itu dengan mutma'innah, kelima makam wasal dan dinamakan nafsu padanya itu radiyah, keenam makam tajalliyyat al-af'al dan dinamakan nafsu padanya itu dengan mardiyyah, ketujuh makam tajalliyyat al-sifat dan asma' dan dinamakan nafsu padanya itu dengan kamilah.(fol.14A).



Antara nama-nama ulama yang menjadi sandaran dalam teks ini ialah ibn 'Arabi (fol.1B, 3A), Sadr al-Din Buni [al-Qunyawi] (fol.1B, 5A), Syaikh Ahmad al-Qusyasyi (fol.6B), Nur al-Din al-Raniri (fol.7A), Syaikh Qasim Khan (fol.9A), Muhammad anak Sahal anak 'Ata' menyebut kata-katanya (fol.11A), Syaikh Abul-Mawahib Muhammad Zain al-'Abidin ibn al-Ghumari dengan tauhid empat martabat (fol.12A),



Beberapa persoalan yang mungkin timbul dalam hubungan dengan martabat Tujuh sebagaimana yang terdapat dalam teks Syaikh Daud ini-rahimahu'Llahu ta'ala- 'alim yang arif tentang akidah Ahlis-Sunnah wa al-Jamaah , fiqh Ahlis-Sunnah, tasawwuf Ahlis-Sunnah [dan huraian dalam 'al-Manhal al-Safi' adalah Ahlis-Sunnah, bukan Khawarij, bukan Mu'tazilah, bukan Rafidah atau Syi'a]), adalah seperti berikut.





1.Adakah perkara seumpama ini ada pada zaman nabi? Sehubungan dengan itu kita juga boleh bertanya: Adakah perkara seumpama fiqh, usul al-din, tafsir, nahu saraf, ada pada zaman nabi? Kalau demikian bagaimanakah kita melihatnya?



2.Tidakkah ber'falsafah-falsafah' seperti ini asing daripada Islam, agama yang bersifat dengan tuntutan ke atas orang supaya beriman dan beramal? Tidakkah ini pengaruh dari luar yang sebenarnya hendak meruntuhkan Islam? Meruntuhkan Syari'at dari dalam?



3.Tidakkah ini berlawanan dengan fahaman ilmu Ahlis-Sunnah yang sebenarnya?

Atau tidakkah ini sebenarnya adalah ajaran sesat dalam masyarakat Islam?



4.Tidakkah istilah-istilah itu direka-reka untuk mengusutkan fikiran Muslimin supaya mereka habis umur dengannya dan terbangkalai tugas-tugas mereka terhadap Islam dan umat?



5.Tidakkah fahaman yang sedemikian ini akan merosakkan syariat Islam yang mementingkan ketaatan dan taqwa?



6.Tidakkah ini tasauf theosofi atau tasauf falsafi yang asing daripada tasauf Sunni yang moderat seperti huraian Imam al-Ghazali? Tidakkah ini bercanggah dengan matlamat tasauf sebenarnya mengikut ulama yang muktabar?



7.Tidakkah cara berfikir yang sedemikian ini bercanggah dengan kepentingan umat yang mesti mengambil bahagian dalam teknologi untuk menghadapi globalisasi? Tidakkah ini bercanggah dengan kepentingan umat yang mesti mencapai kekuatan untuk menjaga kepentingannya?



Mungkin respons yang boleh terlintas kepada kita dalam hubungan dengan soalan-soalan di atas adalah seperti berikut:



1.Memang nampaknya tidak ada perkara yang seumpama ini pada zaman nabi s.a.w. dan zaman sahabat dan zaman salaf, Allah meredhai mereka semuanya. Bagaimanapun perkara yang sama boleh ditanya dalam hubungan dengan ilmu-silmu syara' yang lain itu. Sebagaimana yang dihuraikan oleh ibn Khaldun rh dalam "al-Muqaddimah"nya, dengan berlalu zaman dan sejarah maka ilmu-ilmu Islam itu muncul dengan perkembangan manusia dan masing-masing menjadi disiplin-disiplin dengan istilah-istilahnya sendiri, fiqh dengan fiqhnya, usul al-fiqh dengan usul al-fiqhnya, tafsir dengan tafsirnya, hadth dengan tafsirnya, tasawwuf dengan tasawwufnya dengan istilah-istilahnya masing-masing.Perkembangan ilmu-ilmu Islam ini dicatitkan sejarahnya dan isi kandungannya oleh ibn Nadim dalam 'al-Fihrist' dan 'Kasyf al-Zunnun' oleh Hajji Khalifah. Allah memberi rahmat kepada mereka semuanya.Amin.



Bagaimanapun dasar-dasar untuk perkembangan ilmu-ilmu itu semuanya ada dalam Qur'an dan Sunnah , istilah-istilahnya belum ada, juga masalah-masalah detailnya.Masalah-masalah pokoknya sudah ada. Maka dalam hubungan dengan ini boleh dinyatakan secara am dalam Ahlis-Sunnah bahawa apa-apa perkembangan yang baharu yang tidak bercanggah dengan Qur'an, Sunnah dan ijma' maka itu boleh diterima, termasuk di bawah hukum yang lima.



Dalam hubungan dengan ini kita boleh merenung: Adakah 'salah' ulama hadith menghuraikan istilah-istilah 'sahih', "da'if', 'hasan' , 'mutawatir', 'mustafid' 'ahad, dengan maksud-maksudnya kerana nabi saw tidak membicarakannya? Adakah 'salah' dalam al-Itqan al-Suyuti itu ada huraian-huraian tentang apa yang 'makki', yang 'madani', yang 'am', 'yang khas', yang 'safari', yang 'hadari' dan lain-lain? Adakah 'salah' ulama fiqh menghuraikan apa itu 'sah', 'batal' 'fasid', 'sunat', 'harus', makruh, dan lain-lain? Dan dalam usul al-fiqh pula Imam Syafi'I menghuraikan apa itu bayan? Dan lain-lain. Demikian pula salahkah kalau kita fikirkan ulama sufi bila terbaca kalimat 'ahad' dalam Surah al-ikhlas terlintas pada pandangan rohaninya pengenalan terhadap Tuhan dalam 'ahadiah'? Bila bertemu dengan kata 'wahid' ia terlintas pula wahidiah? Dan ada yang mengalami yang demikian dalam sejarah mereka? "Salah"kah kalau terlihat dalam Qur'an kata 'wahid' terpandang pada syuhudnya pengenalan ma'rifat tahap 'wahidiah'? Kalau mereka melihat alam , maka hakikat disebaliknya ialah Tuhan? Bukan alam itu dengan juzuk-juzuknya Tuhan, itu makhluk, tetapi bila terlihat alam, terpandang hakikat di sebaliknya, Tuhan? Maka timbullah wahdah fi al-kathrah? Demikian seterusnya.



2. Ajaran Martabat Tujuh yang diwakili oleh teks yang dibicarakan ini tidak meruntuhkan syariat, bahkan ia mengehendaki supaya syariat diamalkan dengan seboleh-bolehnya, kem udian didalamkan kesedaran batin supaya ketakwaan itu mencapai darjah 'ihsan' yang tinggi , dengan kejernihan hati dan sir. Dengan itu tergabunglah ketaatan terhadap syara' dan ketinggian iman dan keikhlasan.





Tentang 'pengaruh dari luar' yang kerap disebut-sebut oleh Orientalis, Neo-Platonisme, dan pelbagai lagi, (sampai orang yang pintar seperti Iqbal pun-Allah yarhamuh- terkena kesannya) itu adalah kemungkinan dari segi peristilahan; itu boleh berlaku sebab budaya mendapat pengaruh horizontal dalam sejarah, seperti kiita sekarang juga ada istilah-istilah moden yang kita pakai, tetapi istilah itu bukanlah bermakna kita sudah berhenti menjadi Muslimin dan berfikir sebagai Muslimin dan menjadi orang yang berpegang kepada moderniti sebagai falsafah, atau kadang-kadang kita menggunakan istilah positif, bukan bermakna kita mengikut Auguste Comte dengan falsafah positivisme; kita gunakan istilah itu dalam gugusan istilah dalam faham alam atau kehidupan cara kita.



Demikian para ulama kita dahulu, misalnya mereka mengambil istilah mantik Yunani, bukan bermakna mereka menerima falsafah Yunani dengan keseluruhannya dengan kesilapan-kesilapannya, mereka menerima yang berfaedah daripadanya, sebagaimana yang Imam al-Ghazali rd tunjukkan kaedahnya dalam "Tahafut al-Falasifah" dan "al-Munqidh Min al-Dalal"nya.



Lagi pula ulama kita tidak mengajarkan Martabat Tujuh itu kepada sesiapa sahaja, tetapi kepada mereka yang ada persediaan yang patut, dan mereka memerlukan huraian itu dari segi intelektuil sebenarnya, sebagai dokongan kesedaran rohani mereka, selepas mereka mengetahui akidah Ahlis-Sunnah, hukum-hukumnya, dan tasawuf mu'amalah.Ini bukan falsafah dalam erti huraian mental spekulatif semata, tetapi ia huraian tentang syuhud para 'arifin yang sahih. Sebab itu Waliyu'Llah al-Dihlawi rh menyatakan bahawa sebenarnya aliran wahdatul-wujud ibn 'Arabi yang ada dalam teks ini dengan aliran wihdatul-syuhud al-Sirhindi adalah sebenarnya merujuk kepada perkara yang sama, dengan istilah-istilahnya sahaja yang berbeza sahaja.(Lihat Burhan Ahmad Faruqi dalam The Mujaddid's Conception of Tawhid, Sh Muhammnadِ Ashraf, Lahore, 1970, hal.97-100).



Ungkapan pengaruh luar kerap disebut oleh Orientalis untuk menunjukkan bahawa ilmu kerohanian sebenarnya tidak begitu ada dalam islam, ia kemuflisan dari segi ini, maka ia terpaksa 'meminjam'. Sebaliknya ulama Ahlis-Sunnah menyebut bahawa tasawwuf adalah daripada Qur'an dan Sunnah dan pengelaman rohani mereka yang muktabar dalam umat yang dirahmati Allah ini.



Mereka yang berpegang kepada ajaran tasauf seperti ini tidak meruntuhkan Syari'at bahkan mereka menguatkannya, sebagaimana yang boleh dilihat dalam huraian-hurain mereka itu, juga sebagaimana yang boleh dilihat dalam sejarah mereka, baik dalam kawasan asal Islam atau di Nusantara.Kemunculan kaum zindik yang mengenepikan Syariat itu adalah dengan ijma' diharamkan, membawa kepada kekufuran, na'udhubillahi min dhali.Kalau di rantau ini yang berpandangan demikian ialah Syaikh Nur al-Din al-Raniri Syaikh 'Abd al-Rauf Singkel, Syaikh 'Abd al-Samad al-Falimbani, Syaikh Arsyad al-Banjari, rakannya Syaikh Daud al-Fatani, Syaikh Ahmad al-Fatani, yang ayahandanya memiliki naskah 'al-Manhal al-Safi' ini, Allah memberi rahmat kepada mereka antara yang sekian ramai itu.



3.Ajaran sedemikian ini ada dalam kalangan ulama Ahlis-Sunnah wa al-Jamaah, hanya ia tidak disebut oleh al-Asy'ari rd dan al-Syafi'I rd. Tetapi ia dihuraikan oleh mereka yang berpegang kepada ajaran mereka berdua; dan ia bukan termaswuk ajaran sesat. Ini antaranya jelas daripada fatwa ibn Hajar rh dalam "al-Tuhfah", (10) katanya:





وَشَطْحِ وَلِيٍّ حَالَ غَيْبَتِهِ أَوْ تَأْوِيلِهِ بِمَا هُوَ مُصْطَلَحٌ عَلَيْهِ بَيْنَهُمْ ، وَإِنْ جَهِلَهُ غَيْرُهُمْ إذْ اللَّفْظُ

الْمُصْطَلَحُ عَلَيْهِ حَقِيقَةٌ عِنْدَ أَهْلِهِ فَلَا يُعْتَرَضُ عَلَيْهِمْ بِمُخَالَفَتِهِ لِاصْطِلَاحِ غَيْرِهِمْ كَمَا حَقَّقَهُ أَئِمَّةُ الْكَلَامِ وَغَيْرُهُمْ وَمِنْ ثَمَّ زَلَّ كَثِيرُونَ فِي التَّهْوِيلِ عَلَى مُحَقِّقِي الصُّوفِيَّةِ بِمَا هُمْ بَرِيئُونَ مِنْهُ وَيَتَرَدَّدُ النَّظَرُ فِيمَنْ تَكَلَّمَ بِاصْطِلَاحِهِمْ الْمُقَرَّرِ فِي كُتُبِهِمْ قَاصِدًا لَهُ مَعَ جَهْلِهِ بِهِ وَاَلَّذِي يَنْبَغِي بَلْ يَتَعَيَّنُ وُجُوبُ مَنْعِهِ مِنْهُ بَلْ لَوْ قِيلَ بِمَنْعِ غَيْرِ الْمُشْتَهَرِ بِالتَّصَوُّفِ الصَّادِقِ مِنْ التَّكَلُّمِ بِكَلِمَاتِهِمْ الْمُشْكِلَةِ إلَّا مَعَ نِسْبَتِهَا إلَيْهِمْ غَيْرَ مُعْتَقِدٍ لِظَوَاهِرِهَا لَمْ يَبْعُدُ ؛ لِأَنَّ فِيهِ مَفَاسِدَ لَا تَخْفَى










Ertinya: Dan [perkataan yang bersifat sebagai] syatahat yang keluar daripada seorang wali masa hal pengelaman ghaibahnya [masa fananya] atau ta'wilan [kata-kata] yang dijadikan istilah teknikal di kalangan mereka, [tidak menjadi sebab kufur] walaupun yang lain dari kalangan mereka tidak mengetahui hal itu, kerana lafaz yang dijadikan istilah [di kalangan mereka yang ahli dalam sesuatu ilmu itu] adalah hakikat pada sisi mereka yang ahli di dalamnya, maka yang demikian itu tidak ditentang mereka itu kerana istilah mereka menyalahi istilah golongan yang selain daripada golongan mereka , sebagaimana yang ditahkikkan tentang ini oleh imam-imam dalam ilm al-kalam dan yang lain daripada mereka.



Dengan itu, maka ramai mereka yang tergelincir kerana menyerang golongan muhakkikin dari kalangan sufiah dalam perkara-perkara yang mereka [sebenarnya] terbebas daripada [tuduhan] yang demikian, dan mereka berpergi datang melihat di kalangan mereka yang berbicara tentang istilah mereka yang tertulis dalam kitab-kitab mereka mencari-cari untuk itu [untuk menyerang], walhal mereka tidak mengetahui tentangnya [tentang maksud yang sebenar yang diketahui di kalangan golongan muhakkikin itu]. Maka tentu dan nyata mesti wajib ditegah mereka daripada yang demikian itu; bahkan kalau dikatakan bahawa mesti ditegah orang yang tidak terkenal dengan [penglibatan dengan betul dengan ] tasauf dengan cara yang benar, daripada berbicara tentang kata-kata [istilah] mereka yang boleh mendatangkan kemusykilan [ke atas masyarakat], kecuali dengan menisbahkan kepada mereka [mengikut benar-benar huraian kitab mereka] serta tidak beriktikad dengan apa yang zahir [daripada lafaz-lafaz itu] maka itu tidak jauh [daripada apa yang sebenarnya, ertinya hendaklah orang yang berbicara dengan cara yang menyalahi kitab-kitab ahli tasauf sendiri, mereka-reka tafsiran sendiri, hendaklah mereka ditegah daripada berbicara tentang itu], kerana dalam perkara yang demikian itu [yakni orang yang berbicara bukan mengikut ulama tasauf secara sadiq, tetapi memandai sendiri, dan mengambil lafaz mengiktu zahirnya] itu mendatangkan kerosakan yang tidak tersembunyi lagi [memang nyatalah kerosakannya].



[Adapun mereka yang memang sesat akidahnya selepas dipereksa, dan itu bukan ajaran tasauf, tetapi dinisbahkan sahaja kepada mereka, kerana ada kepentingan, maka wali al-amr mesti mengambil tindakan terhadap mereka-penulis kertas].

Katanya lagi (11)

وَقَوْلُ ابْنِ عَبْدِ السَّلَامِ يُعَزَّرُ وَلِيٌّ قَالَ أَنَا اللَّهُ وَلَا يُنَافِي ذَلِكَ وِلَايَتَهُ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَعْصُومٍ فِيهِ نَظَرٌ ؛ لِأَنَّهُ إنْ كَانَ غَائِبًا فَهُوَ غَيْرُ مُكَلَّفٍ لَا يُعَزَّرُ كَمَا لَوْ أُوِّلَ بِمَقْبُولٍ وَإِلَّا فَهُوَ كَافِرٌ وَيُمْكِنُ حَمْلُهُ عَلَى مَا إذَا شَكَكْنَا فِي حَالِهِ فَيُعَزَّرُ فَطْمًا لَهُ وَلَا يُحْكَمُ عَلَيْهِ بِالْكُفْرِ لِاحْتِمَالِ عُذْرِهِ وَلَا بِعَدَمِ الْوِلَايَةِ ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَعْصُومٍ ...( تَنْبِيهٌ ) قَالَ بَعْضُ مَشَايِخِ مَشَايِخِنَا مِمَّنْ جَمَعَ بَيْنَ التَّصَوُّفِ وَالْعُلُومِ النَّقْلِيَّةِ وَالْعَقْلِيَّةِ لَوْ أَدْرَكْتُ أَرْبَابَ تِلْكَ الْكَلِمَاتِ لَلُمْتُهُمْ عَلَى تَدْوِينِهَا مَعَ اعْتِقَادِي لِحَقِّيَّتِهَا ؛ لِأَنَّهَا مَزِلَّةٌ لِلْعَوَامِّ وَالْأَغْبِيَاءِ الْمُدَّعِينَ لِلتَّصَوُّفِ انْتَهَى وَإِنَّمَا يُتَّجَهُ إنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ غَرَضٌ صَحِيحٌ فِي تَدْوِينِهَا كَخَشْيَةِ انْدِرَاسِ اصْطِلَاحِهِمْ وَتِلْكَ الْمَفَاسِدُ يَدْرَؤُهَا أَئِمَّةُ الشَّرْعِ فَلَا نَظَرَ إلَيْهَا



Dan pendapat 'Izzuddin ibn 'Abdis-Salam [rh] bahawa wali yang berkata 'Aku Allah' hendaklah dikenakan hukum ta'zir, itu tidak menafikan kewaliannya, kerana ia tidak ma'sum, padanya ada penilitian.Kerana, kalaulah ia dalam 'ghaibah', maka ia tidak mukallaf [waktu itu], maka dengan itu ia tidak dikenakan hukum ta'zir sebagaimana kalau dita'wilkan dengan yang makbul, kalau tidak [kalau ta' boleh dita'wilkan], maka ia kafir. Maka boleh ditanggungkan maknananya bahawa bila kita syak tentang halnya, maka ia dihukumkan dengan ta'zir, untuk menjauhkan dirinya [daripada 'kesalahan' yang demikian], dan tidak dihukumkan ia itu kafir kerana ihtimal [andaian] ia teruzur, dan juga bukan tidak dihukum ia bukan wali; kerana ia tidak ma'sum…(Peringatan) Kata setengah daripada syaikh-syaikh bagi syaikh-syaikh kami dari kalangan mereka yang menghimpunkan [dalam diri mereka] antara tasawwuf dan ilmu-ilmu nakliah dan akliah, :kalau aku bertemu dengan orang-orang yang ahli tentang istilah-istilah [sufiah yang sulit-sulit itu] aku akan mencela mereka menulis kitab tentangnya walhal aku beriktikad itu adalah benar, kerana ia adalah tempat tergelincir orang-orang awam dan orang-orang yang bodoh yang mendakwa penglibatan dengan tasauf.(Seleasi kenyataannya). Dan sesungguhnya yang lebih beralasan ialah [maksud kata-kata itu melarang mereka menulis itu] ialah bila pada mereka itu tidak ada alasan dan matlamat yang sahih dalam mengarang tentangnya seperti [antara matlamat yang boleh diterima itu ialah] takut terluputnya istilah-istilah mereka itu , maka kerosakan-kerosakan[yang telah tersebut dalam larangan tadi] tidak diambil kira oleh imam-imama syara'iah maka tidak diberi perhatian kepadanya [dengan itu kitab-kitab itu boleh ditulis untuk ahlinya dan tidak ditegah]. (10).





Katanya seterusnya :



( قَوْلُهُ : وَشَطْحِ وَلِيًّ ) عَطْفٌ عَلَى قَوْلِهِ سَبْقِ لِسَانٍ ( قَوْلُهُ : أَوْ تَأْوِيلِهِ ) عَطْفٌ عَلَى غَيْبَتِهِ ( قَوْلُهُ : وَمِنْ ثَمَّ ) أَيْ لِأَجْلِ الْمُخَالَفَةِ لِاصْطِلَاحِ غَيْرِهِمْ ( قَوْلُهُ : زَلَّ كَثِيرُونَ إلَخْ ) وَجَرَى ابْنُ الْمُقْرِي تَبَعًا لِغَيْرِهِ عَلَى كُفْرِ مَنْ شَكَّ فِي كُفْرِ طَائِفَةِ ابْنِ عَرَبِيٍّ الَّذِينَ ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ الِاتِّحَادُ ، وَهُوَ بِحَسَبِ مَا فَهِمُوهُ مِنْ ظَاهِرِ كَلَامِهِمْ وَلَكِنَّ كَلَامَ هَؤُلَاءِ جَارٍ عَلَى اصْطِلَاحِهِمْ وَأَمَّا مَنْ اعْتَقَدَ ظَاهِرَهُ مِنْ جَهَلَةِ الصُّوفِيَّةِ فَإِنَّهُ يُعَرَّفُ فَإِنْ اسْتَمَرَّ عَلَى ذَلِكَ بَعْدَ مَعْرِفَتِهِ صَارَ كَافِرًا وَسَيَأْتِي الْكَلَامُ عَلَى هَذَا فِي كِتَابِ السِّيَرِ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى ا هـ مُغْنِي

(Katanya: dan kata-kata syatahat seorang wali) sambungan atas katanya terlanjur lidahnya (katanya atau ta'wilnya) sambungan atas keadaan ghaibahnya (katanya kerana itu) yakni kerana menyalahi [istilah mereka dengan] istilah golongan lain [seperti istilah fuqaha atau ahli usul aldin] (katanya: tergelincir ramai dan seterusnya sampai habis ayat) dan ibn al-Muqri mengikut bagi orang yang selainnya berpendapat kafir orang yang syak tentang kafirnya golongan ibn 'Arabi [termasuk, kalau diterima, mereka yang mengikut huraiannya di Dunia Melayu, termasuk 'martabat tujuh' dalam al-Manhal al-Safi karangan Syaikh Daud ini] yang zahir kata-kata mereka [memaksudkan] bersatu [antara Tuhan dan makhluk], itu adalah dengan kadar apa yang mereka faham dari zahir kata-kata mereka , tetapi kata-kata golongan ini adalah mengikut [system] peristilahan mereka ; adapun orang yang beriktikad atas zahirnya dari kalangan orang jahil antara mereka yang beramal dengan tasauf, maka hendaklah diberitahu dan diajarkan [apa yang sebenarnya, bukan zahir lafaznya], dan kalau ia meneruskan halnya selepas daripada mengetahui tentangnya [selepas diajar] maka ia menjadi kafir, dan pembicaraan ini akan dilakukan dalam 'kitab al-Siyar' insya' Allah. Habis kenyataan dalam kitab 'al-Mughni'. (11)







Dalam Mughni al-Muhtaj terdapat kenyataan yang hamper sama maksudnya:





وَكَذَا الْكَلِمَاتُ الصَّادِرَةُ مِنْ الْأَوْلِيَاءِ فِي حَالِ غَيْبَتِهِمْ ، فَفِي أَمَالِي الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ أَنَّ الْوَلِيَّ إذَا قَالَ : أَنَا اللَّهُ عُزِّرَ التَّعْزِيرَ الشَّرْعِيَّ ، وَلَا يُنَافِي الْوِلَايَةَ لِأَنَّهُمْ غَيْرُ مَعْصُومِينَ ، وَيُنَافِي هَذَا قَوْلَ الْقُشَيْرِيِّ : مِنْ شَرْطِ الْوَلِيِّ أَنْ يَكُونَ مَحْفُوظًا ، كَمَا أَنَّ مِنْ شَرْطِ النَّبِيِّ أَنْ يَكُونَ مَعْصُومًا ، فَكُلُّ مَنْ كَانَ لِلشَّرْعِ عَلَيْهِ اعْتِرَاضٌ فَهُوَ مَغْرُورٌ مُخَادِعٌ ، فَالْوَلِيُّ الَّذِي تَوَالَتْ أَفْعَالُهُ عَلَى الْمُوَافَقَةِ ، وَقَدْ سُئِلَ ابْنُ سُرَيْجٍ عَنْ الْحُسَيْنِ الْحَلَّاجِ لِمَا قَالَ : أَنَا الْحَقُّ فَتَوَقَّفَ فِيهِ وَقَالَ : هَذَا رَجُلٌ خَفِيَ عَلَيَّ أَمْرُهُ وَمَا أَقُولُ فِيهِ شَيْئًا ، وَأَفْتَى بِكُفْرِهِ بِذَلِكَ الْقَاضِي أَبُو عَمْرٍو وَالْجُنَيْدُ وَفُقَهَاءُ عَصْرِهِ ، وَأَمَرَ الْمُقْتَدِرُ بِضَرْبِهِ أَلْفَ سَوْطٍ ، فَإِنْ مَاتَ ، وَإِلَّا ضُرِبَ أَلْفًا أُخْرَى ، فَإِنْ لَمْ يَمُتْ قُطِعَتْ يَدَاهُ وَرِجْلَاهُ ثُمَّ يُضْرَبُ عُنُقُهُ ، فَفُعِلَ بِهِ جَمِيعَ ذَلِكَ لِسِتٍّ بَقَيْنَ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ سَنَةَ تِسْعٍ وَثَلَاثِمِائَةٍ ، وَالنَّاسُ مَعَ ذَلِكَ مُخْتَلِفُونَ فِي أَمْرِهِ ، فَمِنْهُمْ مَنْ يُبَالِغُ فِي تَعْظِيمِهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُكَفِّرُهُ لِأَنَّهُ قُتِلَ بِسَيْفِ الشَّرْعِ ، وَجَرَى ابْنُ الْمُقْرِي تَبَعًا لِغَيْرِهِ عَلَى كُفْرِ مَنْ شَكَّ فِي كُفْرِ طَائِفَةِ ابْنِ عَرَبِيٍّ الَّذِينَ ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ عِنْدَ غَيْرِهِمْ الِاتِّحَادُ وَهُوَ بِحَسَبِ مَا فَهِمُوهُ مِنْ ظَاهِرِ كَلَامِهِمْ ، وَلَكِنَّ كَلَامَ هَؤُلَاءِ جَارٍ عَلَى اصْطِلَاحِهِمْ ، إذَا اللَّفْظُ الْمُصْطَلَحُ عَلَيْهِ حَقِيقَةٌ فِي مَعْنَاهُ الِاصْطِلَاحِيِّ مَجَازٌ فِي غَيْرِهِ ، وَالْمُعْتَقِدُ مِنْهُمْ لِمَعْنَاهُ مُعْتَقِدٌ لِمَعْنًى صَحِيحٍ . وَأَمَّا مَنْ اعْتَقَدَ ظَاهِرَهُ مِنْ جَهَلَةِ الصُّوفِيَّةِ فَإِنَّهُ يَعْرِفُ ، فَإِنْ اسْتَمَرَّ عَلَى ذَلِكَ بَعْدَ تَعْرِيفِهِ صَارَ كَافِرًا ، وَسَيَأْتِي الْكَلَامُ عَلَى هَذَا أَيْضًا فِي كِتَابِ السِّيَرِ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى .

Ertinya: Demikian pula kata-kata yang keluar dari para aulia dalam hal pengelaman ghaibah mereka; dan dalam kitab 'al-Amali' Syaikh 'Izzuddin ibn 'Abdis-Salam : Sesungguhnya wali itu bila ia berkata:"Aku Allah' hendaklah dikenakan hukuman ta'zir dengan ta'zir syari'i, dan itu tidak menafikan kewalian [orang yang berkenaan], kerana mereka bukannya maksum [seperti ma'sum anbia], dan ini diinafikan oleh pendapat al-Qusyairi :Termasuk ke dalam syarat kewalian ialah ia 'mahfuz' [terjaga] sebagaimana daripada nabi [pula] syaratnya ialah ma'sum, maka setiap orang yang bercanggah dengan syara' maka ia terpedaya, menipu [diri sendiri], maka wali itu ialah orang yang berterusan amalannya bermuafakat [dengan Syara'], dan ditanya ibn Suraij berkenaan dengan Husain al-Hallaj bila ia mengatakan 'Aku Allah', maka ia bertawakuf tentangnya.Ia lelaki yang tidak nyata kepadaku urusannya, dan aku tidak katakana sesuatu[pun] tentangnya.Dan al-Qadhi Abu 'Amru dan Junaid dan fukaha zamannya mengkafirkannya kerana yang demikian itu, dan dinasihati supaya al-Muqtadir memukulnya dengan seribu pukulan kalau ia mati, kalau tidak seribu lagi, kalau ia tidak mati maka dipotong tangannya dan kakinya, kemudian dipotong lehernya.Itu semua dilakukan kepadanya …dan manusia walaupun demikian mempunyai pendapat yang berlainan tentangnya.Antara mereka yang terlalu mengagung-agungnya,, antaranya mereka yang mengkafirkannya, kerana ia dibunuh dengan pedang Syara', dan ibn al-Muqri berpendapat mengikut mereka yang lain itu , menganggap kafir orang yang syak tentang kufurnya golongan ibn 'Arabi yang zahir k,ata-kata mereka [menunjukkan makna] penyatuan (al-ittihad) [antara Tuhan dan makhluk], dan itu adalah mengikut kadar apa yang mereka fahamkan dari kata-kata mereka.Tetapi golongan ini kata-kata mereka mengikut [system] peristilahan mereka [sendiri], kerana lafaz istilah itu bersifat hakiki pada maknanya secara istilah [teknikal] dan bersifat majazi dalam yang lain daripadanya, maka orang yang beriktikad dari kalangan mereka adalah mengikut makna yang sahih, adapun orang yang beriktikad zahir [pada lafaznya] dari kalangan jahil pengikut tasauf maka ia hendaklah diberitahu [tentangnya], kalau ia terus juga dengan keadaannya [mengambil maknanya yang zahir pada lafaz juga], maka menjadi kafirlah ia.Huraian tenhtang ini juga akan dilakukan nanti dalam kitab al-siyar.In sya' Allah.(12)



4.Tentang istilah-istilah yang muncul itu adalah proses yang berlaku terhadap semua ilmu-ilmu Islam seperti fiqh, tafsir, hadith, sirah, dan lainnya termasuk tasauf; dan tasauf pula ada yang mu'amalah dan ada yang mukasyafah; tentang martabat tujuh ini, ia termasuk ke dalam bahagian mukasyafah; tidak semua orang memerlukannya. Kedudukan tentang istilah-istilahnya disebut antaranya dalam kitab Tuhfah oleh ibn Hajar rh dan Mughnil-Muhtaj oleh Khatib Sharbini rh. Yang penting ialah kita memahai istilahy-istilah mengikut apa yang difahami di kalangan mereka yang ahli baginya.Ini pendirian ulama dalam Ahlis-Sunnah wa al-Jama'ah yang tidak menjadi tabiat dan resminya untuk mengkafirkan sesama sendiri sebagaimana yang dijelaskan antaranya dalam al-Tabsir fid-Din oleh al-Isfara'ini rh juga al-Baghdadi rh dalam al-Farq bain al-Firaq.



5.Tasauf demikian adalah bertujuan untuk memantapkan ketaatan dan taqwa dengan memberi huraian-huraian yang bersifat intelektuil bagi mereka yang memerlukan; ia bukan untuk orang yang tidak memerlukannya, apa lagi mereka yang hendak memahaminya mengikut system istilah mereka sendiri. Hendaklah dibezakan mereka ini daripada golongan yang mendakwa tasauf dan melemparkan syariat daripada hidup mereka dan memperlekeh-lekehkannya.Na'udhu billahi min dhalik.



6.Sebenarnya ia bukan tasauf falsafah, sebab falsafah ialah setakat lamunan mental dengan fikiran dan minda, dan tidak menyentuh aspek-aspek yang batin dan rohani manusia. Adapun yang demikian ini adalah huraian tentang syuhud 'arifin dengan system peristilahan mereka sendiri. Dan ia sebahagian daripada tasauf bahagian mukasyafahnya.Dan mereka adalah Ahlis-Sunnah bukan terkeluar daripada Ahlis-Sunnah, melainkan golongan yang memang disebutkan terkeluar daripada Ahlis-Sunnah sepertri yang disenaraikan dalam kitab Tuhfgah al-Raghibin karangan Syaikh Arsyad al-Banjari rh (13).Dalam hubungan dengan ini eloklah kita ingatkan pembahagian ibn 'Arabi rd tentang ilmu itu ada tida kategori: ada yang akliah, yang boleh difahami dengan akal, ada yang bersifat sebagai "hal" yangh dialami oleh jiwa dan roh, ada yang bersifat 'hakikat-hakikat" (al-haqa'iq).Ini boleh didapati pada awal "Futuhat"nya, jilid I.



Seperkara lagi ia bukan akidah, ia syuhud, ini perlu dibezakan maksudnya.Kalau akidah semua orang mesti mengetahuinya dan meyakininya, seperti sifat-sifat Tuhan dalam ilmu akidah, berdasarkan Qur'an, hadith dan ijma'.Adapun pengelamanb syuhud para 'arifin itu "hal" mereka, atau "makam" mereka, yang mereka alami, bukan akidah yang mesti dipelajari oleh semua mukallaf. Sebab itu 'salah' kalau dikatakan akidah ibn 'Arabi rd adalah 'wihdatul-wujud', sebab akidahnya ialah sebagaimana yang dibentangkannya pada awal kitab al-Futuhatnya, yang isinya hampir-hampir sama dengan akidah Imam al-Ghazali rd dalam Ihya'nya. Adapun pengelaman syuhudiah, itulah yang disebutkan orang sebagai wihdatul-wujud itu.



7.Tentang kepentingan adanya sains dan teknologi, ini tidak menjadi persoalan, sebab metafisika tasauf yang demikian bukannya bercanggah dengannya, bahkan ia memberi kerangka metafisika dan rohani kepada ilmu sains dan teknologi, dan ia tidak menafikan undang-undang sebab musabbab pada alam syahadah ini; seseorang boleh menjadi sufi sebenarnya (selain daripada mengingati contoh para Sahabat rd dan Tabi'in dan generasi Salaf rd) dan juga ahli sains; sebab tasauf yang sebenar yang dimaksudkan boleh ada pada ahli fakir seperti Imam al-Ghazali, ahli sejarah dan sosiologi, seperti ibn Khaldun, boleh ada pada pemerintah seperti Salahuddin al-Ayyubi dan Sultan 'Abdul Hamid Turki (sayangnya ia menjadi mangsa konspirasi manusia zamannya, termasuk manusia yang Islam, selain daripada konspirasi Barat), atau tasauf yang ada pada bendahara Tun Perak di Melaka. Kalau di Negara kita sarjana sains seperti Prof Osman Bakar boleh mendapat fahaman yang jelas dalam metafisika sufi untuk fahaman sainsnya, demikian juga sarjana seperti Prof Mohd Yusoff Othman, sekadar menyebut beberapa nama, walaupun tidak dikaitkan mereka dengan tasauf secara yang tersangat ketat.



Kesimpulan:



Nampaknya perbincangan menunjukkan bahawa Martabat Tujuh sebagaimana yang difahami oleh mereka yang ahli sebenarnya adalah harmonis dan mendapat tempat dalam wacana ilmu Ahlis-Sunnah ; hanya ia perlu difahami dengan sebenarnya, mengikut para ahlinya, sebab semua pengetahuan ada ahlinya.Tentang adanya golongan sesat dalam masyarakat yang menisbahkan diri kepada tasauf, atau adanya orang yang jahil yang memahaminya secara zahir lafaznya, maka itu bukan alasan untuk dinyatakan ia terkeluar daripada Ahlis-Sunnah ataupun terkeluar daripada lingkungan keimanan, na'udhu billahi min dhalik.Apa lagilah, sikap negatif itu tidak menasabah, bila diingatkan, bahawa dalam rantau ini, ia melibatkan peribadi-peribadi seperti Wali Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Syaikh Nur al-Din al-Raniri, Syaikh 'Abdul-Rauf Singkel, Syaikh al-Qusyasyi, Syaikh Syamsul-Din Pasai, Syaikh Arsyad al-Banjari, Syaikh Yusuf al-Makasari yang menentang penjajah itu, Syaikh 'Abd al-Samad al-Falimbani penyebar faham Imam al-Ghazali, Syaikh Daud al-Fatani, Syaikh Ahmad al-Fatani (guru To' Kenali) [editor kitab-kitab Jawi zaman kerajaan Othmaniah dulu], dan seluruh gernerasi mereka itu-Allah memberi rahmat kepada mereka.Amin; kalau diambil sikap yang negatif sebagaimana mula dikesani, maka seolah-olah sudah berlaku satu jenis "dekonstruksi ilmu Ahlis-Sunnah" –sementara ada ungkapan yang lebih menasabah untuk ini- dalam hubungan dengan mereka yang sebenarnya wajib diberikan layanan yang "lebih beradab" dan "lebih bertamadun". Dan tentang perlunya bidang ini tidak diceburi oleh mereka yang tidak sewajarnya di kalangan orang awam, itu juga diterima, dan wali al-amri perlu melakukan tindakan kawalan dengan bantuan mereka yang ahli di dalamnya. Dan ia tidak boleh dibicarakan dihadapan orang awam. Wallahu a'lam.